Ada Prospek Dibalik Strategi Turunkan Emisi

Berbagai strategi ditempuh untuk mengurangi emisi karbon. Ada pendekatan Carbon Pricing atau Nilai Ekonomi Karbon (NEK), ada pula offsets/ mengimbangi emisi (Crediting Mechanism).

Dr. A Faroby Falatehan

HAL itu disampaikan Dr. A Faroby Falatehan, Akademisi yang menjadi salah seorang pembicara dalam Pelatihan Validator dan Verifikator GRK yang digelar di Bogor 16 – 18 Nopember 2023.

Dalam makalahnya yang berjudul “Potensi Pengembangan Bisnis dan Terbukanya Lapangan Kerja Baru”, Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) – IPB University ini memaparkan berbagai hal menarik terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Dikatakannya bahwa Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Negara kepulauan, dengan lebih dari 17.000 pulau dan rentan dilanda kenaikan permukaan laut. Selain itu,  tercatat dalam kurun waktu 1981 – 2018 mengalami kenaikan suhu 0,03o per tahun, serta kenaikan permukaan laut 0,8 – 1,2 cm/tahun, dimana 65% masyarakatnya tinggal di wilayah pesisir.

“Risiko bencana hidrometeorologi mencapai 80% dari total bencana di IndonesiaPotensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66% sd 3,45% PDB pada tahun 2030,” ungkap Faroby.

Di tengah kenyataan itu, republik ini menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 29 persen dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional. Terdapat 5 sektor dalam NDC yang berperan dalam penurunan emisi GRK, yaitu energi, limbah, industrial processes and production use (IPPU), pertanian, dan kehutanan.

Menurutnya, Indonesia sendiri membutuhkan sekitar USD 322,8 miliar untuk mencapai target National Determined Contribution (NDC) tahun 2030. Untuk itu diperlukan mekanisme pembiayaan yang inovatif, termasuk dari sektor privat, komunitas internasional, atau bauran pembiayaan lainnya.

Untuk mencapai target NDC pada tahun 2030 dan visi jangka panjang pencapaian net zero emission pada tahun 2060, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membangun berbagai sistem mitigasi dan adaptasi.

Prospek NEK

Pada 2022-2024, pajak karbon akan diterapkan untuk sektor pembangkit listrik tenaga atau PLTU batu bara. Pembangkit listrik tenaga batu bara dengan proses yang tidak efisien, atau emisi yang lebih tinggi dari batas atas akan dikenakan biaya tambahan. Kemudian pada 2025, implementasi pengenaan pajak karbon dilakukan secara penuh dengan tahap perluasan sektor sesuai dengan kesiapan masing-masing industri.

Itu adalah salah-satu kebijakan atau strategi yang ditempuh untuk mengurangi emisi karbon. Disamping itu ada pendekatan Carbon Pricing atau Nilai Ekonomi Karbon (NEK). diantaranya meliputi; perdagangan izin emisi (emmision trading system: ETS), dimana  entitas yang mengemisi lebih banyak membeli izin emisi dari yang mengemisi lebih sedikit.

Selanjutnya ialah offsets/mengimbangi emisi (Crediting Mechanism), dimana entitas yang melakukan aktivitas penurunan emisi dapat menjual kredit karbonnya kepada entitas yang memerlukan kredit karbon.

Dampak Pasar: Positif

Lebih jauh Faroby menjelaskan, bahwa komitmen Indonesia dalam upaya pengendalian perubahan iklim global tercermin dalam partisipasinya pada Perjanjian Paris, yang kemudian diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

Dikatakannya, bahwa para negara pihak (party) yang telah meratifikasi Perjanjian Paris wajib menyampaikan Nationally Determined Contributions (NDC) yang berisi target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga tahun 2030.

Dosen FEM IPB itu juga menjelaskan, bahwa program perdagangan emisi (ETP) adalah cara yang efektif untuk memerangi pencemaran lingkungan. “Namun, hal itu juga dapat memacu peningkatan biaya perusahaan, yang mempengaruhi lapangan kerja dan pembangunan ekonomi,” ucapnya.

Analisis menunjukkan bahwa dampak pasar tenaga kerja terkait pasar karbon; positif. Meskipun hasilnya bergantung pada rancangan kebijakan hijau, khususnya pada penggunaan hasil dari kenaikan harga karbon.

“Memperkuat kebijakan pasar tenaga kerja aktif, dengan fokus pada pelatihan, dan melengkapinya dengan kebijakan pendidikan seperti perluasan pelatihan kejuruan, akan memfasilitasi transisi pekerja dari sektor yang menyusut ke sektor yang berkembang,” jelas Faroby.

***Riz**

Redaksi Green Indonesia