Firman, SLS, Ikan Salai dan Konservasi

Sebagai perusahaan yang juga mengemban peran penting bagi sosial ekonomi masyarakat, PT. SLS telah banyak melakukan hal positif dalam bingkai kepedulian sosial dan kebersamaan dengan masyarakat Pelalawan, khususnya di sekitar areal kebun.

KABUPATEN Pelalawan atau yang biasa disebut dengan julukan “Negeri Seribu Kubah” ini  merupakan salah satu penghasil kelapa sawit di Provinsi Riau. Daerah bernuansa Melayu itu pun terkenal dengan kuliner ikan tapa, patin, toman, lais dan baung.

Disinilah, kiprah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi wilayah, dilakukan oleh PT. Sari Lembah Subur (SLS), sebuah perkebunan kelapa sawit yang tergabung dalam kelompok usaha Astra Agro Lestari (AAL). Kiprah tersebut, salah-satunya, ialah bermitra dengan kelompok nelayan di sekitar areal perkebunan.

Firman. Nelayan dan tokoh masyarakat Kerumutan

Bicara kelompk nelayan, ikan  rawa dan sungai, serta kuliner ikan asap khas Melayu di Pelalawan, agaknya sulit dipisahkan dengan sebuah nama; ‘Firman’. Dia dikenal vokal, namun berpandangan ‘lurus’ dan tegas. Dia juga menjadi panutan warga sekitar kebun sawit di Kecamatan Kerumutan, Kabupaten Pelalawan – Riau.

“Dulu kami berkelahi dengan pihak manajemen PT. SLS. Masalahnya ialah; persoalan yang terkait dengan profesi kami sebagai UMKM ikan asap. Kami dicurigai sebagai salah-satu penyebab kebakaran hutan dan lahan (Karhutla),” kisah Firman.

Berbagai jenis ikan liar diolah menjadi ikan asap (salai), mulai dari lele, baung, lais, toman dan sebagainya. Tentu saja, kami menggunakan api dari kayu bakar. “Ikan salai khas Melayu itu kami jual sampai ke beberapa daerah sebagai kuliner khas. Kami pun menjualnya melalui medsos (online),” ungkap Firman.

Nelayan Peduli Lingkungan

Berawal pada  2014, pria asal Jawa Timur tersebut memulai usaha pengasapan ikan. Bersama para warga lain di Kecamatan Kerumutan, mulai bermunculan usaha yang sama. Tentu saja, api dan asap kerab membumbung di sekitar perkebunan –yang sebagiannya adalah lahan gambut yang mudah terbakar.

“Pada masa itu, memang, kami belum punya kelompok. Hal ini dipandang ilegal dan beresiko memicu bahaya kebakaran,” jelas Firman.

Oleh PT. SLS, para pelaku usaha ikan asap itu akhirnya dirangkul dalam wadah Kelompok ‘Nelayan Peduli Api Lubuk Bungkuk’, dan Firman dipercaya sebagai ketua. Seiring perjajalan kelompok itu berganti nama Nelayan Peduli Lingkungan (NPL), beranggotakan 10 orang.
Kelompok tersebut dibina oleh SLS, yang meliputi bimbingan teknis, mulai dari cara penangkapan hingga pengolahan (pengasapan). Tak hanya itu, mereka juga mendapatkan bantuan alat (pompong atau perahu kecil) sejumlah 10 unit.

Selain untuk menangkap ikan, perahu-perahu kecil itu juga digunakan untuk patroli lintas sungai. “Sambil mencari ikan kita patroli untuk mencegah kebakaran,” ungkap Firman.


Bubu dan Pancing

Peran kelompok nelayan yang dipimpin Firman cukup membanggakan. Selain pencegahan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) mereka juga menjadi penjaga kelestarian ikan di alam liar sekitar kebun.

“Kami mengajak masyarakat untuk tidak menggunakan potash dan setrum bila mencari ikan,” jelas Firman. Tujuannya agar kelangsungan hidup ikan tidak terganggu hanya karena ingin dapat ikan yang banyak.

Diceritakan Firman, bahwa saat ini alat yang diperkenankan ialah bubu, pancing (kail, tajur, rawai). “Jala tidak dipakai, karena sulit penggunaannya di sela kayu,” ungkapnya. Dari kelompok yang berkembang hingga puluhan jumlahnya tersebut, Firman memegang peran lintas kelompok, khususnya dalam menampung ikan, pengolahan dan pemasaran.

Dengan melimpahnya ikan, Firman pun mendirikan ‘Rumah Salai’ disamping kediamannya.
Pembangunan ‘Rumah Salai’ itu pun dibantu oleh PT. SLS, baik dari segi teknis maupun biaya.

***Riz***

Redaksi Green Indonesia