Zerisky Elfianto*)
SUDAH tiga tahun penulis berdomisili di Desa Sukawangi, Puncak Dua Bogor. Selama itu pula, tidak hanya menjadi saksi perkembangan apapun yang terjadi di tengah masyarakat agraris tersebut.
Dalam tulisan ini, yang penulis maksud adalah terkait dengan hiruk-pikuk tenurial antara warga desa dengan Perhutani – sebagai pengelola hutan negara di kawasan sejuk, indah, serta penuh nuansa agraris itu. Terkait dengan hal ini, tidak hanya sebatas pemantau dan pengkabar (dengan beberapa judul publikasi di media ini), bahkan penulis pun –secara langsung atau tidak– akhirnya ikut ‘nyemplung’, terlibat dalam sebuah organisasi (paguyuban) warga bernama Forum Komunikasi Warga Sukawangi (FKWS).
Tanpa mengesampingkan profesi sebagai jurnalis yang harus netral apa adanya, namun ‘rasa’ menggiring kepedulian. Meski tidak terlalu pasrah, namun memang, suara petani itu lemah. Hal itulah yang membuat penulis –secara diam-diam– ikut melibatkan diri dan bahkan ikut membidani lahirnya paguyuban FKWS.
Di wilayah yang nyaris 100% warganya petani (kecil) itu, ada kelembagaan seperti kelompk tani atau Gapoktan di wilayah ini, namun tampaknya ‘tumpul’, atau mungkin (seperti dikatakan sejumlah warga) malah lupa jati diri dan tidak memihak aspirasi anggotanya.
Menjerit Pada ‘Angin’
Kasus tenurial, dimana ribuan warga meng-klaim bahwa tanah tempat tinggal mereka adalah hak yang sudah diwarisi leluhur sejak puluhan tahun silam. Sementara pihak ‘sebelah’ meng-klaim bahwa perkampungan itu merupakan kawasan hutan.
Perdebatan yang begitu sengit sejak tiga tahun terakhir itu bagaikan tak berujung. Setiap kali pertemuan, baik dengan pemerintah daerah maupun pihak terkait di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), paguyuban pun merasa ada angin segar dan optimis. Namun kebahagiaan itu hanya sesaat. Seiring perjalanan waktu, hingga kini ‘angin segar’ yang ditiupkan itu hanya bak ‘lipstik’. Statusquo.
Penulis menilai, rakyat (ribuan petani Sukawangi) melalui FKWS, bagai berteriak pada angin. Pihak birokrat, baik Pemkab Bogor maupun KLHK (BPKH Yogyakarta), hingga sebentar lagi rejim berganti belum mampu menuntaskan, atau menjawab harapan warga Sukawangi, dengan berbagai alasan.
Tanah untuk Rakyat
Ketimpangan dalam kepemilikan lahan sudah teramat mencolok dan berlangsung sangat lama. Itu tidak bisa lagi dibiarkan. Langkah langkah koreksi kebijakan secara tepat, cepat, dan menyeluruh harus dijalankan.
Pilihan yang dapat diambil ialah mengimplementasikan program reformasi agraria. Dengan program ini, susunan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah, ditata kembali demi kepentingan rakyat kecil. Tak jauh dari pusat pemerintahan Republik ini, hal demikian juga menjadi asa ribuan petani, warga Desa Sukawangi Puncak Dua Bogor.
Beberapa waktu ke depan, kita berada dalam tahun politik. Isu seperti ini tampaknya cukup ‘gurih’ menjadi konsumsi politik. Seperti adagium para kapitalis; tidak ada makan siang yang gratis.., maka rakyat yang sedang berharap pun bisa terlena ditiup angin surga.
Menurut penulis, warga Sukawangi yang sedang memperjuangkan tapal batas dengan Perhutani itu butuh uluran tangan, dukungan murni para pihak, seperti halnya AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), atau KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria). Ini agaknya lebih kompeten.
*) Pemimpin Redaksi Green Indonesia (GI).