Potensi agribisnis, ekowisata, serta harapan sebuah kawasan green economy yang maju namun ‘terjaga’ di masa depan, dimiliki kawasan jiran metropolitan ini. Lengkap dengan tradisi dan kebersahajaannya.
Entah kapan dan berapa lama jarum jam berhenti bergerak di kawasan ini. Kenyataannya, di era serba canggih –yang dikata orang; millennium— saat ini, desa-desa di Jalur Puncak Dua Bogor, (maaf) masih saja seperti apa adanya. Namun alhamdulillah… kenyataan itu pula yang membuat kawasan ini tetap asri, green, bersahaja, dan jauh dari keriuhan serta ‘debu’ kota (polusi).
Dibilang apa adanya, karena desa-desa di kawasan ini minim fasilitas, termasuk yang vital sekalipun buat kesejahteraan warga. Padahal, dari segi jarak tak begitu jauh dari ibukota Kabupaten Bogor atau Cianjur. ‘Hiruk-pikuk’ week end di jalur utama Bopunjur (Bogor – Puncak – Cianjur) pun bagai ‘di balik dinding’ saja. Bahkan dari Metropolitan Jakarta (Ibukota Republik), hanya sekitar dua jam perjalanan.
Dari segi jarak, desa-desa di Jalur Puncak Dua memang tak layak disebut remote area atau terpencil. Hanya saja, minimnya fasilitas yang membuatnya seperti terpojok. Mengapa begitu?
Bayangkan, untuk berurusan ke kantor desa saja tak cukup waktu 1 – 2 jam, karena jarak antar dusun yang cukup jauh. Pasar untuk berbagai kebutuhan, selain sayur dan beras, yakni di Cipanas. Butuh waktu seharian bagi warga Sukawangi untuk aktifitas yang satu ini. Hanya beberapa pihak yang melakukannya seminggu sekali, selebihnya (umumnya) sebulan sekali. Sarana tansportasi umum adalah ojeg motor atau mobil pick up yang biasa membawa sayuran.
Yang menyedihkan lagi adalah fasilitas kesehatan, termasuk pemeriksaan rutin ibu hamil. Kalau bukan ke dukun beranak (paraji), si ibu hamil harus rela menempuh jalanan rusak menuju Praktek Bidan di luar kampung ke arah Cipanas. Atau membiarkan saja proses kehamilan apa adanya hingga melahirkan di tangan paraji. Tentu saja, mungkin, tak sedikit kasus sedih yang menimpa keluarga di daerah ini akibat kondisi tersebut.
Masih banyak hal lain, yang pilu sekaligus menggelikan. Misalnya dalam hal berkirim paket, baik via kantor pos, apalagi belanja on line. Hal tersebut nyaris tidak bisa dilakukan, kecuali dengan ‘titip alamat’ di luar kawasan, semisal (yang terdekat) di sekitar Cipanas. Selain jauh dan mungkin tidak ekonomis dari segi jasa pengiriman, nomor rumah pun tidak ada.
Kapan dan berapa lama jarum jam berhenti bergerak di kawasan ini. Entahlah.
Mungkin agak hyperbola, tapi mengingat dekatnya ibukota nagara dan riuhnya Buitenzorg. Sukawangi dan sekitarnya bukanlah Lembah Baliem –beribu kilometer seberang lautan di timur sana. Potensi agribisnis, ekowisata, serta harapan sebuah kawasan green economy yang maju namun ‘terjaga’ di masa depan dimiliki kawasan jiran metropolitan ini. Lengkap dengan tradisi dan kebersahajaannya.
Kekeringan di Sumber Air
Kawasan di Jalur Puncak Dua terkenal dengan sebutan ‘surganya air terjun’ di Kabupaten Bogor. Terdapat sejumlah air terjun (curug) di sela rerimbunan hutan dilereng-lereng perbukitan di kawasan ini. Diantaranya yang terkenal –karena cukup indah– adalah Curug Ciherang, Cipamingkis, Curug Arca, Curug Cibeet, Saridun dan sebagainya.
Aliran sungai dari curug-curug itulah yang menjadi sumber air irigasi (pipanisasi) bagi petani hortikultura di Sukawangi, Batulawang dan sekitarnya. Berkah dari alam itu dapat dinikmati warga yang berdekatan dengan aliran sungai. Sedangkan lahan-lahan lainnya yang agak jauh atau ber
ada di ketinggian, hanya berharap pada curah hujan. Bila kemarau datang (yang mulai terasa saat ini), cocok tanam tak bisa dilakukan alias petani nganggur.
Lagi-lagi soal fasilitas, bahkan di sentra pertanian inipun sarana-prasarana usaha tani untuk rakyat, tampaknya belum tersentuh pembangunan. Boleh dikatakan petani di kawasan ini benar-benar swadaya, namun apa adanya. Penyuluhan usaha tani?… minim sekali.
Bicara permodalan, apalagi kredit perbankan, seperti celoteh beberapa petani kepada GI; sulitnya ‘bak menggantang asap’. Hadeuhh…
***Riz***
No comment