Sudah cukup lama aku tidak menulis di media ini. Kalau tak salah sejak sebelum Ramadhan lalu, ketika aku (GI) pulang ke Kampung Arca, Desa Sukawangi di jalur Puncak Dua – Kabupaten Bogor.
Saat itu semua wilayah tercekam dan sibuk dengan PSBB, lalu GI pun secara tidak sengaja ter-lockdown dan akhirnya mengendap hingga saat ini di Sukawangi. Bukan karena Covid-19 yang menggemparkan itu, tapi patah kaki (kecelakaan tunggal) karena dampak buruknya infrastruktur transportasi di lokasi yang sebenarnya tidak jauh dari metropolitan Jakarta itu.
Social distancing bahkan di kasur, sesekali keluar rumah untuk teraphi di bawah mentari pagi. Tidak bisa keluar kampung, apalagi keluyuran untuk peliputan berita. Satu-satunya jalan hanya via internet, itupun awalnya terkendala pelitnya signal android di kawasan yang katanya jalur wisata itu. Telkomsel yang katanya ‘jawara’, tenyata kurang berdaya alias malehoy di lokasi ini. Solusinya ialah mengganti sim card operator seluler, dan akhirnya GI-pun bebas berselancar; mencari informasi, mulai menulis dan mengirim artikel ke media online yang satu ini.
Pembaca yang budiman. Selama mengendap di Sukawangi, sambil penyembuhan atau ‘lockdown – patah kaki’, beberapa laporan akan penulis sajikan, baik hasil wawancara seadanya dengan petani, liputan pandangan mata, atau sedikit opini dangkal penulis. Tentunya hanya berkutat di wilayah Sukawangi atau sekitar Puncak Dua.
Agar tidak terkesan monoton, panjang dan membosankan, maka lewat kanal-kanal di greenindonesia.co ini penulis bermaksud menyajikan artikel-artikel sederhana secara berseri.
Asrinya Jalur Puncak Dua
Jika ingin merasakan sejuknya hawa pegunungan, serta tenteramnya desa, telusurilah jalur Puncak Dua. Di sini hutan masih lebat, lembah-lembah pun menghijau.
Yang menarik lagi ialah kondisi jalannya; menyisir lereng dan berliku, dengan tanjakan dan turunan tajam memacu adrenalin. Pada spot tertentu, ditemukan jalan makadam yang terkadang dipenuhi lumpur licin dari longsoran tebing. Penyebabnya ialah erosi tanah dari kebun-kebun sayur yang digarap petani di musim hujan.
Maka jangan pula heran, jika ternyata tak sedikit korban patah kaki di Desa Sukawangi. Dan itu adalah hal yang biasa bagi warga di kawasan ini. “Yang sabar yaa…. Paling menunggu beberapa bulan, nanti juga sembuh,” ucap warga tiap kali bertemu GI saat terapi pakai tongkat di luar rumah. Tidak perlu ke umah sakit atau ke ahli ortopedi. Cukup ke pengobatan alternatif, dengan racikan berbagai bahan herbalnya.
Desa-desa di jalur Puncak Dua memang agak terisolir dan masih serba tradisional. Namun alamnya cukup memanjakan penghuninya. Tanah subur, air berlimpah. Bersih dan sejuk, karena mengalir dari pinggang-pinggang bukit, di sela lebatnya hutan.
Kawasan ini juga dikenal sebagai surganya curug-curug (air terjun) yang indah, dengan berbagai ukuran. Singkat kata, kawasan Puncak Dua tak kalah menarik untuk dikelola sebagai tujuan ekowisata.
Desa Tani
Di sepanjang jalur Puncak Dua, lahan-lahan terbuka yang berbatasan dengan hutan, ditumbuhi aneka sayuran dataran tinggi. Warga setempat –yang 95% petani, tak henti sepanjang tahun melakukan budidaya, mulai dari wortel, kubis tomat, brokoli dan berbagai jenis sayuran lain. Tak sedikit pula warga yang mengusahakan bunga potong, yakni jenis hortensia (panca warna). Tanaman perdu nan rimbun ini, tampaknya relatif lebih bersahabat dengan ekosistem pegunungan, karena resiko erosi disaat musim hujan jauh lebih rendah dibanding sayuran semusim.*(bersambung).
***Riz***
No comment