Oleh: Nurmawati Siregar, Aam Aminah dan Deddy Dwi Nur Cahyono*)
TWR merupakan teknik yang sederhana karena tidak membutuhkan alat dan keterampilan khusus dalam aplikasinya. Keuntungan lain dari TWR antara lain hemat dalam penggunaan air, tidak perlu penyiraman dan penyiangan gulma.
SALAH-satu faktor penentu keberhasilan pembangunan hutan tanaman adalah tersedianya bibit berkualitas. Bibit tersebut dapat diperoleh dari perbanyakan generatif maupun vegetatif.
Namun ada beberapa jenis tanaman hutan yang terkendala dalam pengadaan bibit secara generatif. Misalnya akibat musim pembungaan yang tidak terjadi setiap tahun. Bisa juga karena benih yang tidak dapat disimpan lama atau benih yang sulit berkecambah.
Perbanyakan vegetatif dapat menjadi salah satu alternatifnya. Perbanyakan vegetatif adalah proses memperbanyak tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif dari tanaman seperti tunas, batang, akar dan daun untuk mendapatkan tanaman baru yang sama dengan induknya.
Teknik yang digunakan dapat dengan cara menyambung, menempel/okulasi, cangkok, stek maupun kultur jaringan. Perbanyakan vegetatif memiliki beberapa keunggulan. Tanaman akan memiliki sifat yang sama dengan induknya, dan pengadaan bibit dapat dilakukan setiap waktu. Disamping itu, jumlah produksi bibit dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tidak tergantung dengan musim berbuah.
Metode Perbanyakan Stek
Pembiakan vegetatif melalui stek yaitu dengan menggunakan bagian-bagian vegetatif yang dipisahkan dari tanaman induknya. Jika ditanam pada media dengan kondisi lingkungan yang optimal, akan beregenerasi dan berkembang menjadi tanaman sempurna yang memiliki akar, batang dan daun sekaligus.
Prinsip dasar metode stek adalah bagaimana cara agar akar dan tunas pada bahan stek dapat tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan akar dan tunas pada stek dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan.
Faktor genetik (bahan tanaman) meliputi kandungan cadangan makanan dalam jaringan stek, umur tanaman (pohon induk), hormon endogen dalam jaringan stek serta tingkat juvenilitas. Faktor lingkungan antara lain media, suhu, kelembaban dan intensitas cahaya.
Jenis media yang umum digunakan adalah media padat, seperti tanah, pasir, cocopeat, arang sekam maupun kombinasinya.
Pada pembibitan dengan skala besar, penggunaan media padat tentu menjadi salah satu tantangan dalam penyediaannya secara kontinyu. Sebagai alternatif, dapat digunakan media air dan dikenal dengan teknik water rooting (TWR).
Teknik Water Rooting
TWR merupakan teknik yang sederhana karena tidak membutuhkan alat dan keterampilan khusus dalam aplikasinya. Keuntungan lain dari TWR antara lain hemat dalam penggunaan air, tidak perlu penyiraman dan penyiangan gulma.
Namun ternyata, tidak semua jenis tanaman dapat diperbanyak dengan menggunakan TWR. Oleh karena itu diperlukan informasi jenis-jenis yang dapat diperbanyak dengan TWR melalui uji coba.
Jenis-jenis yang diujicoba yaitu tanaman yang potensial untuk dikembangkan dalam rangka pembangunan hutan tanaman. Diantaranya tanaman energi, pulp, pertukangan, atau furniture. Disamping itu juga tanaman bukan penghasil kayu, tanaman berkhasiat obat maupun jenis tanaman penghijauan.
Diantara jenis-jenis yang potensial untuk pembangunan hutan tanaman antara lain pulai, kayu bawang, jamuju, cempaka, rasamala, pulai gading, pulai rawa, jabon merah dan jabon putih. Selain itu, jenis potensial lain seperti pongam, tembesu, gmelina, turi, merbau, mahoni, marasi, kenari, nyawai, nyamplung, ulin, gerunggang, sengon, dao, biti, meranti merah, meranti putih, ramin, jelutung, trema, benuang dan kayu lawang.
Aplikasi TWR
Aplikasi stek pada TWR membutuhkan tempat untuk media air dan sterefoam untuk menancapkan stek.
Media air dapat menggunakan wadah plastik berukuran 30x20x15 cm (pxlxt) yang kemudian diisi dengan air hingga penuh. Dimensi stereofoam kemudian disesuaikan dengan wadah plastik, sehingga mengapung ketika diletakkan ke dalamnya.
Bahan stek yang digunakan adalah tunas pucuk dengan kondisi batang yang telah berkayu, dari tunas ortotrop (tunas yang tumbuh keatas) dan setidaknya terdapat 3 nodus mata tunas.
Bila menggunakan bahan tunas plagiotrop (tunas yang tumbuh ke samping), maka tunas baru dan seterusnya akan tumbuh ke arah samping. Bahan stek akan lebih baik lagi jika dari tanaman yang unggul sehingga diperoleh sifat unggul yang identik dengan indukannya.
Pengambilan bahan stek menggunakan gunting stek yang tajam sehingga cukup dengan sekali pemotongan dan terhindar dari batang yang pecah. Ukuran helaian daun kemudian dikurangi menjadi setengahnya untuk mengendalikan penguapan.
Selama pemrosesan kegiatan stek, materi stek selalu dijaga kelembabannya dengan ditempatkan pada wadah yang berisi air serta dihindarkan dari sinar matahari langsung. Pada sterefoam dibuatkan lubang untuk penanaman yang ukurannya disesuaikan dengan diamater pangkal stek.
Jarak antar lubang disesuaikan dengan ukuran bahan stek sehingga tidak bersinggungan satu sama lain. Bahan stek kemudian ditancapkan pada sterefoam, dan bila sterefoam diapungkan di wadah air, maka pangkal batang harus tenggelam pada air. Wadah beserta hasil penanaman stek kemudian ditempatkan di rumah kaca.
Pemeliharaan yang diperlukan yaitu mengontrol air pada wadah sehingga pangkal batang stek selalu tenggelam. Bila diperlukan dapat dilakukan penambahan air. Pada stek akan tumbuh tunas dan akar dengan waktu bervariasi antar jenis.
Apabila telah tumbuh tunas dengan daun sempurna dan akar, maka stek dapat dipindah ke polybag.
Hasil ujicoba terhadap 30 jenis tanaman menggunakan TWR, setelah 12 minggu pemeliharaan menunjukkan respon yang bervariasi.
Terdapat 4 kondisi yang diperoleh yaitu stek tumbuh (akar dan tunas tumbuh), stek hidup (akar tumbuh tanpa tunas, tunas tumbuh tanpa akar atau tidak tumbuh tunas maupun akar tetapi masih hijau), stek kering (batang kering dan daun coklat) dan stek busuk (materi berwarna coklat atau hitam).
Respon Bervariasi
Sebanyak 14 jenis dapat tumbuh dan berkembang, 9 jenis hidup, stek kering sebanyak 3 jenis dan terdapat stek busuk sebanyak 3 jenis.
Jenis-jenis yang tumbuh di lahan rawa seperti tembesu, pulai gading, pulai rawa, benuang, gerunggang, ramin, jelutung dan jabon ternyata menunjukkan respon bervariasi. Ramin dan jelutung hingga 12 minggu setelah tanam, akar dan tunasnya belum tumbuh akan tetapi stek tetap hidup.
Kelompok jenis cepat tumbuh ataupun pionir seperti gmelina, merbau, nyawai, pongam, sengon, trema dan turi juga menunjukkan respon yang bervariasi. Stek sengon 4 minggu setelah tanam sudah berwarna coklat kehitaman karena busuk sementara jenis yang lainnya mampu tumbuh dengan baik.
Jenis-jenis yang lambat tumbuh seperti biti, cempaka, damar mata kucing, dao, jamuju, kayu bawang, kayu lawang, kemari, mahoni, marasi, meranti merah, nyamplung, rasamala dan ulin juga menunjukkan respon yang bervariasi.
Biti, jamuju, kayu bawang dan mahoni mampu tumbuh dengan baik, sementara itu dao, meranti merah, nyamplung dan ulin sampai 12 minggu setelah tanam masih hidup, jenis damar mata kucing, kayu lawang, kenari dan marasi menjadi kering sementara cempaka dan rasamala menjadi busuk.
*)Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan – BRIN