Ujung-ujungnya, petani Arca – Sukawangi lebih tertarik menanam sayuran. Meski nilainya tidak fantastis, tapi jelas pasarnya.
Sebuah rumah di tikungan jalan (jalur alternatif Bogor – Cianjur, Puncak Dua), berpagar rimbunnya pohon kupa, berjejer pada bibir tebing yang tak terlalu tinggi. Bila musim hujan berganti kemarau, pohon hingga rantingnya bebalut buah seukuran kelereng. Jumlahnya ‘bejibun’.
Bila matang, buah itu berwarna hitam keunguan. Kalau dipetik, tampuknya terlepas dan meninggalkan lubang kecil pada bagian pangkal (atas) buah. Tidak perlu dikupas, cukup lubang itu ditempelkan diantara bibir, dan dipencet.
Lalu…….cruttt, cairan isi buah pun meluncur ke dalam mulut. Seketika rasa manis menyapa ujung lidah, disusul kemudian sensasi segar (asam) membuncah di sisi kiri-kanan rongga mulut. Konon, kata literatur, buah hitam keunguan tersebut memiliki kandungan antioksidan yang tinggi, bahkan melebihi aneka buah lainnya.
Orang-orang menyebutnya ‘kupa, kupa landak’, atau ‘anggur Brazil’. Di Kampung Arca, Desa Sukawangi – Bogor, pohon ini tumbuh subur. Mungkin karena cocoknya iklim pada ketinggian lebih kurang 1000 mdpl, seperti di kawasan itu.
Seperti diceritakan Dedi Durohman, si pemilik pohon tersebut, dulu jumlah kupa landaknya cukup banyak. Sekarang tinggal beberapa pohon saja, selebihnya sudah dicabut dan dikirim ke berbagai tempat. “Banyak yang beli, karena tertarik melihatnya saat melintas di jalur ini,” tutur petani yang juga penggemar tanaman hias itu.
Harga per pohonnya (yang sudah berbuah) cukup fantastis, bisa mencapai Rp 10 juta. “Kemungkinan mereka jadikan tanaman landscape, karena dahannya banyak dan bedaun lebat, meski tidak terlalu tinggi,” ucap Dedi.
Sebatas Kesenangan
Kupa Landak (syzigium caulifora) atau dalam bahasa Inggris disebut ‘Jaboticaba’, merupakan tanaman langka dari Brazil. Lagi-lagi, itu kata literatur. Yang jelas, tanaman ini sudah banyak tumbuh di dalam negeri, meski sebatas kesenangan.
Tampaknya di Indonesia tak banyak yang tahu, bahwa buah kupa kaya khasiat, disamping sensasi rasanya yang khas. Maka tak perlu ‘melotot’ jika diberitakan bahwa di beberapa negara buah ini cukup bergengsi, harganya pun terbilang mahal. Begitu pula di Indonesia, pada segelintir toko buah tertentu, dikabarkan harga per kilonya mencapai Rp 200.000-.
Namun mengapa segelintir saja yang tertarik membudidayakannya? Jawabnya adalah karena kekurangtahuan, baik di sisi petani maupun masyarakat pada umumnya. Alhasil, baik demand ataupun supply, sama-sama lesu. Alih-alih, malah buah impor membanjiri pasar lokal, lantas konsumen Indonesia pun memujinya.
Lalu penulis (GI) tiba-tiba teringat sekitar duapuluh tahun silam, saat ngobrol sambil nge-teh sore dengan Bob Sadino (Alm) di sebuah bangunan dekat stall kudanya. Dia katakan; (maaf) bahwa pejabat pertanian di republik ini penuh wacana. “Padahal agribisnis itu, …..ya berbuat saja, atau lakukan segera..! Bukan hanya untuk diseminarkan,” tukasnya.
“You tau gak, buah kiwi yang di sini mahal, itu awalnya tumbuhan hutan, makanan burung kiwi di Australia dan New Zealand. Pemerintahnya jeli, dan melakukan pendekatan lifestyle dalam mempromosikannya. Kita Indonesia lebih beragam sayur dan buahnya, tapi kurang dihargai. You tau juga gak, kangkung saja bisa saya ekspor ke Jepang,” katanya.
Kembali ke kupa landak. Walau Brazil punya nama, karena disebut juga ‘anggur Brazil’, pada kenyataannya, di Kawasan Timur Bogor, tanaman ini bisa tumbuh subur. Seperti diakui Dedi, tanpa dipupuk pun buahnya lebat. Bisa mencapai 5 – 10 kilogram per pohon.
Lantas kenapa tidak diseriusi? Jawabnya klasik; “Masih ragu, karena bingung memasarkannya”. Ujung-ujungnya, petani Arca – Sukawangi lebih tertarik menanam sayuran. Meski nilainya tidak fantastis, tapi jelas pasarnya.
…. Siip lah kalau begitu.
***Riz***