Petani memang tak putus dirundung malang, namun rasa jera pun tak pernah ada. Teka-teki harga dan jebakan pasar sudah biasa.
Wortel dipanen, kambing pun dijual. Itu untuk membayar upah kerja pemanen. “Habis bagaimana? Harga wortel dihargai bandar cuma seribu perak sekilo. Nombok aing..,” keluh seorang petani di Kampung Arca – Sukawangi, Bogor, saat musim panen wortel beberapa waktu lalu.
Pada waktu itu, harga wortel anjlok. Bahkan pernah mencapai titik nadirnya, yakni Rp 800,- per kilogram. Tidak hanya wortel, beberapa jenis sayur seperti pakcoy, kubis, sawi putih dan lain-lain pun, harganya terjun bebas. sejumlah petani di Puncak Dua menjerit, meski tak bersuara.
Perlahan harga mulai bangkit, namun masih ‘sempoyongan’. Belum begitu menggairahkan bagi umumnya petani di kawasan pinggiran hutan tersebut. Hal itu berlaku untuk beberapa jenis sayuran, seperti brokoli, cabe rawit dan tomat.
Sementara khusus wortel, harga masih tertidur. Beberapa petani pun tampaknya mulai kurang peduli dengan komoditas umbi berwarna orange tersebut.
Alhasil, para pengepul di tingkat kampung (centeng) kesulitan mencari wortel. Lalu para bandar Puncak Dua pun meng-‘impor’ wortel dari petani di Kabupaten Garut untuk memenuhi permintaan bandar besar di pasar induk. Wortel dari Garut itu dicuci dan dikemas lagi di Puncak Dua sebelum dikirim ke beberapa pasar induk Jakarta dan Bogor.
Jebakan Harga
Rahman (30), seorang petani di Kampung Arca menyatakan ‘kapok’ menanam wortel. Kini petani itu melirik komoditas lain. Dia pun mulai mempersiapkan lahan untuk tanaman jahe, setelah melihat beberapa tetangga tahun lalu ‘makan tangan’ (untung besar) dari hasil panen jahe. Harga jahe emprit (jahe putih) tahun lalu (2021) di tingkat petani (Kampung Arca) mencapai Rp 30.000,- per kilogram.
“Tanam satu kwintal saja bisa menghasilkan 2 ton lebih, dikali harga saat itu, hasilnya mencapai Rp 60 juta,” terangnya. Puluhan petani lain pun berbondong-bondong mengusahakan jahe. Sebuah harapan besar jika musim panen tahun ini (Agustus – Oktober) untung berlimpah. Seperti diketahui, bahwa usia panen jahe sekitar 10 – 12 bulan.
Namun apa yang terjadi. Panen beberapa waktu lalu (Agustus 2021) harga panen petani cuma dihargai bandar pada kisaran Rp 8.000,- sampai Rp 10.000,- sekilonya. Ternyata harga tak sebagus dibanding tahun lalu. Sejumlah petani pun tampak murung.
Demikianlah. Seperti sudah umum di berbagai daerah lain, petani kecil tak jarang terjebak ‘teka-teki’ pasar. Soal harga, disamping pasrah di tangan para bandar, kondisi pasarpun sulit diprediksi.
Namun petani kecil boleh dijuluki sebagai ‘petani tangguh’. Mereka tidak pernah jera, meski sering didera kerugian.
Saat inipun, di Puncak Dua petani sedang tergiur dengan harga tomat yang mencapai Rp 20.000,- per kilogram. Mereka berbondong-bondong melakukan pembibitan. Pertanyaannya, mungkinkah harga akan tetap bagus pada tiga atau lima bulan ke depan?
Entahlah…..
***Riz***
No comment