Ketidakjelasan status lahan hingga kini masih menggelayuti masyarakat sekitar hutan Desa Sukawangi, Puncak Dua – Bogor. Ada peluang setelah melihat PP Turunan dari UU Cipta Kerja yang saat ini masih digodog di KLHK. Kepedulian dan peran Pemkab Bogor pun sangat menentukan.
Galau hati warga Sukawangi – Bogor, hingga kini belum juga pulih. Ketidakpastian hidup dan masa depan yang ‘kelabu’, tetap bergelayut, selama status lahan mereka masih saja dibayangi kasus tenurial yang tak kunjung usai.
“Kemana lagi kami musti mengadu, dan jalan mana lagi yang harus ditempuh sebelum massa (bisa jadi) bertindak emosi,” tutur Rahmansyah, tokoh pemuda dan juga Wakil Ketua Forum Komunikasi Warga Sukawangi (FKWS). Unjuk rasa di Pemkab Bogor sudah dilakukan, bahkan beberapa waktu lalu perwakilan warga pun pergi ke Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Yogyakarta untuk mengadukan nasib dan meminta penjelasan soal peta/ tapal batas antara lahan wilayah dengan lahan PT. Perhutani yang selama ini dipersengketakan.
Namun hasilnya nihil. “Cuma buang waktu, tenaga dan biaya saja. Kalau tahu begini ngapain ke kesana,” kesal Burhanuddin, Ketua FKWS sepulang dari BPKH Yogyakarta.
Jalan Panjang dan Berliku
Masalah ‘saling aku’ lahan antara warga Desa Sukawangi dengan PT Perhutani sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak puluhan tahun silam. Puncaknya terjadi tahun 2020 lalu, ketika BUMN tersebut mensosialisasikan Program PKS (Perjanjian Kerja Sama) Perhutanan Sosial di kawasan berhawa sejuk Puncak Dua itu. Sontak situasi sedikit memanas. Beberapa kali warga berkumpul untuk menentukan sikap. Lalu disepakati, bahwa jalan yang ditempuh ialah meminta perhatian dan kebijakan pemerintah, dalam hal ini Pemkab Bogor.
Tak lama kemudian pihak Pemkab pun turun ke lapangan, dan melakukan plotting di wilayah Sukawangi. Saat itu ratusan warga berkumpul di Kampung Arca, menyambut dan bermaksud menanyakan gambaran sementara hasil plotting. Namun pertemuan urung terjadi, karena ternyata Tim Pemkab itu langsung ngacir ke Cibinong. Warga pun akhirnya bubar.
Yang dimaksud adalah Kasubag Penataan Wilayah Pemkab Bogor, Eko Mujiarto. Selang beberapa hari kemudian, Eko bertutur ke publik lewat sebuah mediamassa. Dikatakan bahwa pihaknya sudah melakukan plotting kawasan hutan di kawasan Puncak Dua – Bogor itu.
Seperti ditulis Inilahkoran.com (12 Okt 2020); “Kami sudah melakukan ploting maupun pendataan terkait rekonstruksi lahan hutan maupun konservasi. Bagi yang ada dokumen C Desa, maka akan dikeluarkan dari lahan Perhutani. Lalu untuk bangunan sekolah dan Kantor Desa Sukawangi, insyaallah aman, karena pemanfaatannya untuk masyarakat banyak. Sementara untuk bangunan villa, maka dengan (bersama–red) Perhutani kami akan menertibkannya,” tutur Eko.
Peluang Terbuka
Pernyataan yang diungkapkan Kasubag Penataan Wilayah Pemkab Bogor tersebut, tentunya bisa sedikit menjadi pelerai gundah masyarakat di sekitar hutan, khususnya warga Desa Sukawangi. “Tapi terus terang, kami belum merasa tenang kalau persoalan dengan Perhutani ini belum selesai dengan sejelas-jelasnya,” ucap Rahmansyah. Menurutnya, sekitar 80% lebih tanah warga di Sukawangi sudah memiliki Dokumen C Desa, baik perumahan ataupun lahan pertanian.
Sementara menyikapi hasil kunjungan warga ke BPKH Yogyakarta, seperti yang dikeluhkan Ketua FKWS, berdasarkan wawancara via watshapp, Kepala BPKH Yogyakarta, Suhendro A Basori, menyatakan bahwa saat ini pihaknya memang belum bisa menyatakan bagaimana hasil final terkait masalah tersebut.
“Memang beberapa waktu lalu warga Sukawangi bekunjung ke kantor dan mempertanyakan tapal batas serta soal tanah desa. Tapi saya tidak bisa menjelaskan kepada warga karena masih menunggu ‘PP Turunan’ dari Undang-undang Cipta Kerja (omnibuslaw) yang saat ini sedang digodog di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kita tahu kan? Bagaimana Presiden kita begitu seriusnya memperhatikan soal ini,” tutur Suhendro.
Menurutnya, desa-desa di Kecamatan Sukamakmur berada dalam kawasan hutan, termasuk Desa Sukawangi. Meskipun demikian, Kepala BPKH Yogyakarta itu melihat; hal yang menjadi harapan warga Suikawangi itu bisa diujudkan. “Kita lihat nanti, semoga bisa. Saya melihat peluang untuk itu ada,” ungkapnya. Lebih jauh dikatakannya, bahwa berhasil-tidaknya pencapaian keinginan warga tersebut juga sangat ditentukan oleh upaya dan kebijakan pemerintah daerah setempat.
Menjawab soal peta kawasan hutan, Suhendro menjelaskan; “Kan ada webb Ina-Geoportal, Kebijakan Satu Peta. Di webb ini semua masyarakat bisa mengakses peta kawasan hutan,” jelasnya.*
***Riz***
No comment