Pada sesi latihan penghitungan hasil survei lapangan, secara umum semua peserta CAT sudah benar perhitungannya. Diskusi antara pemateri dengan peserta training pun begitu seru…
ENTAH mengapa; jika orang bicara emisi, selalu bermakna negatif. Padahal tidak seharusnya selalu begitu.
Seperti dikatakan Muhammad Ridwan, Direktur Eksekutif PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL), bahwa dalam konteks karbon, emisi memiliki tiga makna. Ahli penghitungan karbon itu menjelaskan; jika kegiatan mitigasinya penanaman, maka disebut ‘penyerapan emisi’. Dalam kegiatan konservasi lingkungan, disebut ‘penyimpanan emisi’. Lalu, jika terkait dekomposisi, degradasi dan deforestasi, istilahnya ‘pelepasan emisi’.
“Walaupun ada tiga makna, ketiganya masuk dalam satu dokumen, yaitu Sertifikat Penurunan Emisi (SPE),” jelas Ridwan dalam penyampaian materinya pada hari ketiga Carbon Accounting Training (CAT) di Kampus IPB Baranangsiang (Sabtu, 09/11).
Pada sesi latihan penghitungan hasil survei di lapangan tersebut, Ridwan menyatakan bahwa secara umum, semua kelompok sudah benar perhitungannya. Namun ada beberapa yang keliru di bagian konversi.
Tentang Baseline
Selanjutnya Ahli Karbon yang juga Direktur Eksekutif PT. CKL itu menjelaskan bagaimana cara Perhitungan Penurunan Emisi Karbon pada Berbagai Pengelolaan Lahan (HPH, HTI, Sawit dan Reklamasi Pasca Tambang). Peserta dari sejumlah daerah itu pun mengikuti dengan penuh antusias.
Pada sesi ini, Ridwan memaparkan tentang baseline. Dengan gamblang Dia menjelaskan apa itu baseline di beberapa aksi mitigasi, mulai dari pengurangan emisi pada PBPH – HA, pengurangan emisi pada PBPH – HT, pada perkebunan sawit, serta aksi mitigasi dan pengurangan emisi pada reklamasi tambang.
“Pada teknik konvensional, persentase karbon yang hilang cenderung lebih banyak daripada RIL. Hal ini disebabkan karena jalan sarad yang dibuat pada teknik konvensional lebih lebar dan tidak teratur. Rata-rata stok karbon pada teknik RIL lebih tinggi dibandingkan teknik konvensional,” papar Ridwan.
Interaktif, Sangat Antusias
Pasa sesi tanya jawab, banyak peserta yang bertanya, apa saja jenis tanaman yang tinggi potensi penyerapannya emisinya. “Buah buahan, terutama yang berumur panjang seperti durian, manggis, nangka. Nilai ekonominya juga lebih tinggi daripada kayu,” jelasnya.
Ada pula yang mempertanyakan terkait metode perhitungan biomassa. Ahli karbon dari CKL itu pun memberikan jawaban dengan lugas dan penting untuk disimak.
Dikatakannya bahwa, dulu, memang banyak orang yang menggunakan metode perhitungan biomassa Brown. Namun menurutnya, perhitungan biomassa Brown tidak memperhitungkan berat jenis (BJ). Errornya akan tinggi sekali. Bahkan bahkan bisa mencapai 300%. Sehingga tidak disarankan menggunakan perhitungan biomassa menggunakan metode Brown.
seorang peserta bertanya; apakah metode pengurangan emisi sawit sudah ada? Dijawab Ridwan; “Sudah ada, seperti dari pengolahan HCV, pengolahan limbah, dan sebagainya. Yang belum ada adalah metode untuk dari perkebunan sawit itu sendiri,” jawabnya.
seorang peserta training Ahfi Wahyu Hidayat (Yayasan KEHATI – TFCA Kalimantan), mempermasalahkan adanya skenario sawit, terutama di luar negeri, yang mengatakan kayunya bisa mensubstitusi kebutuhan kayu nasional. “Itu bagaimana menurut bapak?” ucap Ahfi Wahyu.
“Ini pernah ada risetnya. Kalau secara alami maka batang dari sawit kurang sesuai kualitasnya. Kayunya cenderung mudah terserang organisme perusak kayu, sehingga keawetannya rendah. Perlu tahap tertentu untuk meningkatkan kualitasnya,” tutur Ridwan.
Sementara peserta lainnya, Miftah Ayatussurur (PT Ecositrop), mempertanyakan soal reklamasi. Dikatakannya, bahwa yang ketika di tahun ke 10, terutama sengon, menjadi antiklimaks, sehingga ini menjadi salah satu tantangan.
“Ya. Faktanya, banyak perusahaan yang tidak sepenuhnya bertanggung jawab atau peduli atas kerusakan lingkungan. Banyak yang melakukan reklamasi dengan hanya mengandalkan tanaman fast growing,” jelas Ridwan pula.*
(Alya/Riz)
No comment