Padang, 7 Mei 2018, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Barat dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Wilayah Sumatera Barat mendampingi perwakilan Ikatan Mahasiswa Duo Koto (IMADUKO) melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) Wilayah Sumatera Barat sehubungan dengan konflik masyarakat terkait izin usaha pertambangan (IUP) PT. Inexco Jaya Makmur (PT.IJM)
Konflik masyarakat yang disebabkan oleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi PT.IJM semakin meluas dan membesar.
Sebagaimana diketahui, PT. IJM mengantongi IUP Operasi Produksi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No.544-274-2017. Berdasarkan SK tersebut, PT. Inexco Jaya Makmur berhak melakukan pertambangan Emas di Jorong Sungai Beremas NAGARI CUBADAK, Kec. Dua Koto Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat, seluas 2.408 Hektare, dengan kegiatan Operasi Produksi berlaku sejak 2 Oktober 2017 s/d 31 Desember 2036.
Berdasarkan hasil analisis peta Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT. IJM dengan peta kawasan hutan dan peta administrasi Kecamatan Duo Koto BPS 2010 luas izin perusahaan seluas 2.408 Ha dimana terlihat bahwa wilayah kerja PT.IJM berada dalam wilayah administrasi Nagari Cubadak seluas 1.434 Ha dan masuk wilayah Nagari Simpang Tonang seluas 974 Ha. Kawasan yang dibebani izin ini berada dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 435 Ha dan berasa dalam kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 1.973 Ha.
Pada awalnya, konflik dipicu oleh aktiftas Pertambangan PT. IJM yang memasuki Nagari Simpang Tonang, padahal berdasarkan SK Gubernur PT. IJM hanya mengantongi izin di Nagari Cubadak. Melihat adanya aktiftas tambang emas secara tiba-tiba di kampung mereka, maka masyarakat Nagari Simpang Tonang melakukan serangkaian aktifitas penolakan tambang PT. IJM tanpa izin di Nagari mereka.
Uslaini selaku Direktur WALHI Sumatera Barat menyebutkan : berdasarkan informasi dan data yang dihimpun oleh WALHI, ternyata dalam Peta IUP PT. IJM, lokasi izin PT. IJM tidak hanya berada di Nagari Cubadak tapi juga masuk dalam wilayah administrasi Nagari Simpang Tonang. Dengan demikian lokasi izin PT. IJM di Nagari Simpang Tonang sesungguhnya TIDAK BERDASARKAN kepada Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No.544-274-2017. Sehingga seluruh aktifitas pertambangan di Nagari Simpang Tonang yang dilakukan oleh PT. IJM dapat dikatakan tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat.
Selanjutnya, Ipat dari Ikatan Mahasiswa Dua Koto (IMADUKO) Pasaman menyebutkan bahwa “sebelumnya Pihak PT. IJM telah mengakui kesalahan, karena telah memasuki Nagari Simpang Tonang tanpa berdasarkan izin yang jelas. Sehingga mereka berjanji tidak akan melakukan aktifitas tambang emas di Nagari Simpang Tonang”.
Selain itu, kami melakukan penolakan tambang emas PT. IJM karena tidak berizin di Nagari Smpang Tonang, masyarakat juga keberatan karena “tidak dilibatkan” dalam proses perizinan, apalagi terkait penyusunan dokumen Amdal. Proses masuknya PT. IJM di wilayah adat Nagari Simpang Tonang juga tanpa izin pemangku adat, hal tersebut sama saja Pihak Perusahaan dan Pemerintah Pemberi Izin tidak mengakui eksistensi masyarakat adat di Nagari Simpang Tonang.
Wengki Purwanto Ketua PBHI Wilayah Sumbar menambahkan, merujuk pada UU 4 Tahun 2009 tentang MINERBA, maka apabila PT. IJM tetap melakukan aktifitas tambang emas tanpa izin di Nagari Simpang Tonang, maka perusahaan ini diancam dengan Pidana Pertambangan dengan acaman pidana maksimal 10 tahun penjara dan denda paling banya 10 Milyar Rupiah. Selain itu, pemaksaan aktiftas tambang di Nagari Simpang Tonang juga berpotensi melangar pasal 136 UU Minerba, padahal pasal ini menegaskan bahwa sebelum melakukan operasi produksi, pemegang izin wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak, dalam hal ini pemegang hak atas tanah adat di Nagari Simpang Tonang adalah masyarakat adat dan pemangku adat.
Berdasarkan kondisi tersebut maka WALHI Sumatera Barat dan PBHI Sumatera Barat menyatakan sebagai berikut :
1. Bahwa telah terjadi dugaan pelanggaran Pidana Kehutanan dan Pertambangan yang dilakukan oleh PT Inexco Jaya Makmur dengan melakukan kegiatan pertambangan di luar areal konsesi tanpa izin.
2. Bahwa terhadap dugaan Tindak Pidana tersebut seharus menjadi dasar mencabut Izin yang diberikan terhadap PT Inexco Jaya Makmur
3. Bahwa dugaan terhadap pelanggaran terhadap hak hak masyarakat adat di Simpang Tonang, merupakan pengangkangan terhadap keberadaan Masyarakat Adat Simpang Tonang sebagai pemilik Ulayat
4. Pembiaran yang dilakukan oleh Gubernur Sumatera Barat terhadap hal hal tersebut merupakan bentuk Pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistimatis.
5. Jika memang benar terdapat aparat TNI yang digunakan oleh Pihak PT Inexco Jaya Makmur untuk mengawal kegiatan perusahaan merupakan bentuk pelanggaran terhadap UU No 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Sumpah Prajurit, untuk itu kita minta Pihak TNI khususnya Lanal untuk memeriksa terhadap dugaan ini, agar tidak merusak nama TNI di tingkat Masyarakat.***
***DAP***
No comment