Mobil Listrik dan Obrolan Warung Kopi

“Lalu akan banyak mobil dan motor yang mogok di kebun atau di tengah hutan…,” canda seorang petani di sebuah dusun.

SUATU sore di sentra pertanian Desa Sukawangi – Puncak Dua, Bogor. Saat GI mampir di sebuah warung kopi, beberapa orang asyik berbincang soal kendaraan listrik.

Desa di jalur alternatif Bogor – Cianjur, Jawa Barat ini berpenduduk lebih dari 3000 jiwa. Sekitar 90% usia produktif beraktifitas sebagai petani (sayuran, bunga, kopi, pisang dll). Nyaris semua petani di lokasi ini menggunakan sepeda motor menuju kebun. Beberapa lagi sudah memiliki mobil untuk mendukung aktifitas panen dan pendistribusian ke pasar.

“Sampai kapan yah…. motor butut saya ini masih bisa diajak ke gunung dan mengangkut hasil panen. Sekarang bensin mahal, dan makin langka. Lalu ada kabar pemerintah menggantinya dengan kendaraan listrik,” ucap seseorang.

Kerabat GI yang juga ngopi di warung itu, malah galau. Dia baru saja membeli mobil pick up untuk mengangkut bunga potong ke Pasar Rawabelong Jakarta. ‘Wah, bagaimana dengan mobil saya, sampai berapa lama lagi boleh digunakan,” tuturnya.

Tampaknya sosialisasi green energy, emisi karbon dan sebagainya, memang masih sangat minim, bahkan sekelas petani di desa ‘buta’ sama sekali. “Kenapa harus begitu? Apa gak ada cara lain kalau bensin mau habis atau tidak ada lagi di SPBU,” tanya Rustandi, juga petani di kampung itu.

Penuh Tanya

“Nanti semua kendaraan bertenaga listrik, lebih irit dan tidak mencemari lingkungan,” sergah GI.

“Kalau begitu kita harus beli mobil atau motor baru? Apa kuat di jalur ekstrim seperti di sini, dan kalau akinya soak (habis) boleh numpang cas di rumah orang ya,” kelakar seorang petani setengah tua sembari menghisap rokoknya.

Petani sayur pakcoi itu menambahkan; “Lalu akan banyak mobil dan motor yang mogok di kebun atau di tengah hutan. Wah….ada-ada saja,” imbuhnya tertawa sembari mengepulkan asap dari mulut dan hidung.

Nah…. inilah sisi lain seputar energi terbarukan serta upaya pencapaian penurunan target emisi karbon di negeri ini. Bagi orang desa, sementara ini bagai cerita lucu-lucuan petani di warung kopi saja. Sosialisasi belum ada apa-apanya dan tampaknya masih perlu waktu panjang

***Riz***

Redaksi Green Indonesia