Regenerasi Alami dalam Restorasi Ekologi

Dony Rachmanadi1, Tri Wira Yuwati1

Bagaimana memahami sumber regenerasi alami ekosistem hutan rawa gambut pasca kebakaran sebagai sebuah pendekatan dalam restorasi ekologi

KEBAKARAN hutan dan lahan merupakan salah satu penyebab terdegradasinya ekosistem gambut tropis. Sementara ITTO (2005) mendefinisikan, hutan terdegradasi sebagai suatu bentuk kawasan hutan yang sangat rusak oleh pemanenan secara berlebihan.

Panen berlebihan tersebut meliputi untuk kebutuhan kayu maupun non kayu. Termasuk juga lahan yang tidak terkelola, terbakar berulang, serta lahan penggembalaan atau aktivitas gangguan lainnya.

Sebenarnya, ekosistem yang telah mengalami kerusakan, sampai pada batas-batas tertentu, akan dapat memulihkan kondisinya secara alami. Kerusakan yang terjadi secara luas sehingga menyebabkan perubahan kondisi biofisik ekosistem, akan memerlukan penanganan yang kompleks dalam memulihkan kerusakan yang terjadi.

Proses pemulihan ekosistem ini secara umum disebut dengan proses suksesi.

Istilah suksesi dapat digunakan dalam dua cara: 1) Suksesi dapat merujuk pada rangkaian/urutan dari tanaman, binatang, dan komunitas mikrobial yang menduduki suatu area pada suatu masa waktu (umumnya lebih dari ratusan tahun); 2) Suksesi juga dapat merujuk pada “proses dari perubahan” melalui saling menggantikan dari komunitas biotik dan yang mana lingkungan fisik menjadi berbeda seiring waktu perubahan tadi.

Ekosistem hutan rawa gambut yang rusak mengalami berbagai kondisi fragmentasi. Diantaranya ialah; semakin berkurangnya kerapatan jenis pohon dan perubahan jenis yang dominan pada kondisi fragmentasi yang berbeda tersebut.

Secara alami, ekosistem hutan gambut pada kondisi fragmentasi tertentu akan dapat pulih kembali melalui proses suksesi secara alamiah. Kondisi ini disebut dengan fase suksesi progresif.

Sedangkan pada kondisi yang lebih terdegradasi, ekosistem hutan gambut akan sulit untuk pulih kembali secara alamiah yang disebut dengan kondisi suksesi retrogresif. Pada kondisi suksesi retrogresif diperlukan campur tangan manusia untuk dapat memulihkan kembali kondisi ekosistem tersebut.

Proses suksesi salah satunya ditentukan oleh mekanisme kolonisasi. Kolonisasi merupakan suatu proses yang terdiri dari 2 (dua) komponen. Kedua komponen itu meliputi invasi jenis dan kemampuan bertahan hidup atau survival. Invasi jenis ini terkait dengan seberapa banyak organisme individual yang sampai pada tapak tersebut dan mampu bertahan baik berupa biji, spora, tanaman muda maupun tanaman tua (potensi regenerasi alami).

Keberhasilan invasi jenis ini ditentukan oleh ketersediaan sumber benih atau hutan yang tersisa dan adanya agen penyebar benih tersebut. Berbagai bentuk potensi regenerasi alami dari hutan rawa gambut yang terdegradasi terdiri dari: tegakan/hutan sisa (patch/remnant forest), anakan alam (seedling bank), guguran buah (seed rain), biji yang tersimpan di lapisan tanah (seed soil bank) dan kemampuan bertunas tanaman hutan (sprouting bank).

Komponen kedua dari kolonisasi ini adalah survival dari jenis yang sampai pada suatu tapak. Keberhasilan survival ini tergantung dari kondisi tapak atau disebut dengan tapak aman (safe site).

Tapak aman ini direpresentasikan dari kesesuaian kondisi edafisnya, seperti tinggi muka air tanah, kematangan tanah gambut dan kandungan nutrisinya. Tapak aman ini juga ditentukan dari kondisi fisik lingkungan berupa antara lain intensitas cahaya dan kompetisi biotik.

Kebakaran pada ekosistem gambut bersifat khas, yaitu persebaran yang relatif lambat disebabkan kandungan air yang ada di tanah gambut. Proses tersebut menyebabkan terdapat beberapa celah/ patch berupa sekumpulan pohon yang tersisa dari kebakaran.

Tegakan sisa tersebut akan menjadi sumber regenerasi bagi area disekitarnya. Celah atau patch tersebut dapat juga berupa anakan alam yang tersisa atau gabungan dari tegakan tua dan anakan alam. Apabila didukung dengan kondisi lingkungan yang baik, maka anakan alam ini akan berkembang menjadi tegakan tua.

Sisa hutan yang ada akan menghasilkan biji sebagai sumber regenerasi alam. Umumnya tegakan sisa ini dapat menyebarkan biji pada radius 200 m. Biji yang dapat bertahan di lapisan tanah adalah biji yang tahan (persistent) terhadap kondisi lingkungan. Sebagian besar diantaranya adalah biji-biji dari jenis klimaks yang berasal dari hutan dan disebarkan oleh hewan, baik burung maupun mamalia.

Biji-biji yang berasal dari jenis pioner merupakan jenis biji yang kecil dan tidak dapat bertahan lama di dalam tanah. Potensi biji yang tersimpan di lapisan tanah di ekosistem gambut tergolong sangat rendah karena tingginya kandungan air di tanah gambut. Walaupun rendah, biji yang tersimpan ini merupakan potensi yang penting bagi regenerasi alami di ekosistem gambut.

Regenerasi Alami Sebagai Pendekatan Restorasi Ekologi

Berdasarkan uraian mengenai potensi regenerasi alami ekosistem gambut pasca kebakaran, dapat dipahami bahwa suatu ekosistem mempunyai kemampuan untuk memulihkan dirinya. Hal ini sangat penting untuk diketahui sebelum melakukan intervensi pemulihan ekosistem.

Chazdon (2008) menjelaskan, bahwa pendekatan yang akan digunakan untuk mengembalikan fungsi ekosistem hutan yang telah rusak sangat tergantung pada kondisi kerusakan yang terjadi, manfaat yang ingin dicapai, kerangka waktu dan biaya yang diperlukan.

Pendekatan restorasi harus mempertimbangkan distribusi ruang, kelimpahan dan kualitas dari vegetasi yang tersisa sebagai indikator dalam memanfaatkan kemampuan regenerasi secara alami atau suksesi alam.

Beberapa keuntungan yang didapatkan dengan memahami potensi regenerasi alam ini adalah didapatkannya kegiatan pemulihan ekosistem yang efektif dan efisien.

Sebagai ilustrasi, ekosistem terdegradasi seluas 100 Ha ternyata setelah dilakukan analisis diketahui memiliki potensi regenerasi alami yang tinggi seluas 60 Ha, sehingga kegiatan regenerasi secara buatan cukup di area 40 Ha. Untuk menjamin keberhasilan regenerasi alam, pendanaan kegiatan pemulihan ekosistem dapat dialihkan dengan melakukan pembebasan permudaan alam untuk membantu kompetisi dengan tumbuhan bawah/gulma, pengamanan lingkungan dari kebakaran dan pendataan untuk mengetahui kecepatan pemulihan.

Paradigma saat ini dalam pemulihan ekosistem terdegradasi, adalah dengan melakukan penanaman kembali secara intensif. Walaupun dalam tataran kebijakan telah ada upaya pemulihan ekosistem dapat dilakukan dengan memelihara tumbuhan yang tersisa. Kebijakan ini belum dapat diimplementasikan sepenuhnya karena masih kesulitan dalam mengkuantifikasikan pendanaan untuk regenerasi alam.

Pemulihan regenerasi secara alami masih diasumsikan sebagai tidak melakukan apa-apa (doingnothing). Pada sisi lain, penanaman intensif dalam kegiatan pemulihan ekosistem dihadapkan dalam berbagai persoalan, yaitu memasukkan jenis tanaman baru dalam suatu ekosistem, karena kesulitan dalam mencari jenis tanaman asli.

Hal tersebut, dalam kondisi tertentu tidak sesuai dengan konsep restorasi ekologi dan memunculkan potensi menyebarnya jenis invasif yang dapat mengancam keberadaan ekosistem asli.

Pemahaman mengenai kemempuan regenerasi alam ini sangat sesuai dengan konsep ”restorasi ekologi”, yaitu suatu praktik restorasi ekosistem yang menawarkan perbaikan ekosistem tingkat tertinggi atau kondisi ekosistem awal sebelum mengalami gangguan.

Ada berbagai pendekatan restorasi yang dapat diterapkan, tergantung pada jenis ekosistem, tingkat degradasi, atau manfaat restorasi yang diharapkan. 

Memfasilitasi kemampuan regenerasi alam akan lebih menjamin terbentuknya ekosistem awal, karena intervensi jenis lain akan dapat dibatasi. Apabila memang diperlukan untuk melakukan intervensi secara aktif melalui penanaman, maka pemilihan jenis yang digunakan harus didasarkan pada kondisi vegetasi ekosistem yang direstorasi.

1Peneliti Ahli Madya di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kelompok Riset Restorasi & Replikasi Ekosistem Essensial dan Kawasan Konservasi)

Redaksi Green Indonesia