PETANI KOPI MENURUNKAN EMISI

Udara di Toraja cukup panas siang itu. Burung-burung enggan terbang mengudara. Mereka lebih nyaman bertengger dan melompat-lompat dari dahan ke dahan atau dari ranting satu menuju ranting lainnya. Makanan untuk sekawanan satwa tersebut masih tersedia cukup banyak di hutan atau kebun masyarakat. Suhu yang akhir-akhir ini panas sepertinya juga dirasakan oleh satwa liar di sekitar Tana Toraja.

Kondisi suhu yang cukup terik siang itu tidak menyurutkan semangat sekelomppok masyarakat dalam ruangan Pusbinlat Motivator, Kondoran, Kabupaten Tana Toraja.  Peserta pelatihan budidaya kopi mulai terlihat mengantuk tapi mereka lawan rasa kantuk tersebut demi mendengarkan presentasi menarik pakar budidaya kopi dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

Ya, udara di Tana Toraja meskipun akhir-akhir ini agak berbeda dibanding lima tahun yang lalu, tetapi bagi orang luar Tana Toraja begitu nikmat. Tidak heran dari tahun ke tahun wisatawan ke Tana Toraja terus meningkat. Bukan hanya wisatawan tanah air tapi wisatawan mancanegara menjadikan Tana Toraja sebagai tujuan wisata prioritas. Tidak hanya karena budayanya yang khas tapi keramahan penduduk, alamnya yang indah dan tentu saja cita rasa kopi Toraja begitu semerbak aromanya bahkan wanginya sampai ke negara Eropa, Amerika, Australia dan Afrika. Tapi hanya segelintir orang yang tahu kalau produksi kopi Toraja akhir-akhir ini berkurang produktivitasnya.

Memenuhi Persyaratan Tumbuh

Menurut Dr. Supijatno, pakar budidaya kopi dari IPB bahwa, “penyebaran kopi dunia 42% jenis robusta dan 58% jenis Arabika. Di Indonesia sendiri sekitar 75% robusta dan 25% Arabika. Berdasarkan luas kepemilkan lahan dan produksi kopi di Indonesia, kopi rakyat masih yang dominan yaitu sekitar 96%. Hanya 4 persen yang dimiliki oleh jenis pengelolaan lain yaitu 2% dari Perkebunan Besar Negara (PBN) dan 2% dari Perkebunan Besar Swasta ( PBS)”. Dari data ini menunjukkan bahwa perkebunan kopi rakyat menjadi tulang punggung penghasilan kopi nasional.

Tingginya persentase luas dan produksi kopi rakyat pada satu sisi menguntungkan yaitu rakyat menjadi tuan rumah kopi di negeri sendiri. Pada sisi lain, umumnya perkebunan yang dikelola rakyat produktivitasnya cenderung rendah. “Untuk itu tugas parapihak khususnya pemerintah untuk terus mendampingi rakyat dalam mengelola perkebunan kopi”, sambung Supijatno.

Saat ini Indonesia masih menempat urutan keempat di dunia sebagai eksportir tertinggi di dunia. Ekspor kopi Indonesia hanya kalah dari Brazil, Vietnam dan Kolombia. “Seharusnya luas areal yang dimiliki Indonesia bisa menempatkan Indonesia sebagai eksportir utama di dunia. Untuk itu peningkatan kapasitas petani kopi perlu dilakukan segera. Indonesia memenuhi semua persyaratan tumbuh kopi, baik dari suhu, curah hujan, jumlah bulan kering dalam setahun dan termasuk persyaratan ketinggian tempat”, tambah Supijatno semangat.

Menurut Supijatno, “Indonesia memiliki daerah yang cocok untuk jenis arabika dan robusta. Jenis kopi arabika membutuhkan persyaratan suhu antara 15 – 24 0C, ketinggian tempat antara 1000 – 2000 mdpl, curah hujan 1250 – 2500 mm/tahun dan bulan kering antara 1- 3 bulan per tahun. Untuk jenis robusta diperlukan persyaratan tumbuh suhu antara 21 – 24 0C, ketinggian 100 – 600 mdpl, curah hujan 1250 – 2500 mm per tahun dan bulan kering sekitar 3 bulan per tahun. Semua persyaratan tersebut dimiliki Indonesia”.

Perubahan Iklim Pengaruhi Produktivitas Kopi

Perubahan iklim tidak mengenal tempat, warna kulit, suku dan agama. Semua terkena dampaknya dan tidak pilih kasih. Bukan hanya Indonesia tapi dunia mulai mengkhawatirkan dampak perubahan iklim. Tana Toraja tentu saja ikut terkena dampak perubahan iklim. Produktivitas kopi petani juga mulai terkena imbas. Petani kopi Tana Toraja mulai mencemaskan menurunnya produktivitas kopi dari waktu ke waktu.

Dr. Muhammad Ardiansyah pakar tanah dan perubahan iklim dari Centre for Climate Risk and Oppoptunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROMSEAP) IPB, menyatakan, “Dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan petani kopi di Toraja. Petani kopi di Tana Toraja sudah mulai mengeluhkan terjadinya penurunan produktivitas, serangan hama karat daun dan penggerek buah. Untuk itu kami darai IPB mencoba melakukan edukasi tentang budidaya kopi dan melakukan serangkaian aktivitas terkait adaptasi perubahan iklim”.

Studi pengaruh suhu terhadap produksi kopi sudah dilakukan pada beberapa negara. Dengan kenaikan suhu sebesar 1 0C mengakibatkan terjadinya penurunan produksi kopi arabika di Brazil sekitar 25 %. Pada waktu bersamaan kenaikan suhu juga menyebabkan berkembangnya  cendawan  Hemileia vastatrix (karat daun)  yang menyerang daun kopi dan menyebabkan gugur buah sebelum matang.

“Berdasarkan berbagai hasil studi dan laporan dari masyarakat Toraja, CCROM SEAP IPB melakukan studi terkait adaptasi petani kopi di Toraja. Kita melakukan serangkaian pelatihan pada petani seperti pelatihan pemilihan bibit berkualitas, mengenal hama dan penyakit kopi, pemangkasan kopi dan tentu saja pelatihan cara memanen kopi yang baik. Selain itu kami dari IPB Bersama Pusbinlat Motivator Tana Toraja melakukan pemilihan varietas yang tahan penyakit karat dan tahan terhadap perubahan iklim ,” tutur Ardiansyah menambahkan.

Pendampingan dengan Bahasa Setempat

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pusbinlat Motivator, merupakan salah satu LSM yang mendampingi masyarakat terkait isu perubahan iklim. Pengurus Pusbinlat Motivator menyadari bahwa perubahan iklim sudah langsung berdampak pada masyarakat termasuk petani kopi. Hal inilah yang menyebabkan Pusbinlat Motivator banyak melakukan kerjasama dengan berbagai LSM nasional dan internasional.

Menurut Manajer Program di Pusbinlat Motivator, Ir. Tandu Ramba, “Saat ini kopi petani di Tana Toraja  banyak diserang hama dan penyakit. Masyarakat sudah mencoba melakukan tindakan untuk memberantas hama tetapi hasilnya belum optimal. Untuk itu kita bekerjasama dengan CCROM SEAP IPB yang memahami seluk beluk budidaya kopi”.

Dalam praktek kerjanya, masyarakat sekitar hutan diberdayakan oleh Pusbinlat Motivator sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Peserta yang paling banyak dilibatkan oleh Pusbinlat Motivator adalah kaum perempuan. Kaum perempuan dalam bekerja umumnya lebih teliti, semangat dan jarang mengeluh. “Prestasi kerja perempuan di Tana Toraja sangat bagus. Mereka ulet, fokus dan cepat beradaptasi dengan teman kerja yang baru”, tutur Tandu Ramba.

Benar saja, dalam praktek pelatihan budidaya kopi, survey jenis hama penyakit, tekhnis pemangkasan dan cara memanen kopi, peserta yang paling banyak adalah kaum perempuan. Mereka aktif bertanya, berdiskusi dan menghitung persentase kerusakan akibat serangan hama – penyakit kopi.

Dalam setiap sesi pelatihan, petani kopi di Tana Toraja begitu semangat. Mereka mencerna setiap informasi yang disampaikan oleh pemateri dari IPB baik yang terkait dengan budidaya kopi maupun materi perubahan iklim.

Masyarakat sangat antusias dengan pelatihan budidaya dan hama penyakit kopi. Selain karena materinya bagus, menyangkut hajat hidup masyarakat juga isu perubahan iklim merupakan ilmu yang baru bagi masyarakat. “Kami dari Pusbinlat Motivator selalu melakukan komunikasi dua arah dengan masyarakat, menggunakan bahasa sederhana, dimengerti masyarakat dan jika perlu menggunakan bahasa setempat. Kami juga menjelaskan bahwa kegiatan perbaikan sistem penanaman kopi ini termasuk dalam aktivitas adaptasi perubahan iklim. Jika kegiatan ini berhasil maka secara langsung atau tidak langsung, petani kopi sudah ikut berpartisipasi menurunkan emisi nasional”, tambah Tandu Ramba menjelaskan.

***MRi***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *