Krisis Air Mengancam: Apa yang Dapat Kita Lakukan?

Budi Hadi Narendra*)

Air, semua orang tahu betapa pentingnya. Namun, air tidak selalu tersedia secara merata di seluruh muka bumi, dan seringkali terjadi krisis air yang mengancam keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem.

HINGGA kini, tercatat 2,2 milyar penduduk dunia hidup tanpa bisa mengakses air bersih. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kebutuhan air bersih baru dapat menjangkau setengah jumlah penduduk. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya bencana kekeringan pada daerah tertentu selama musim kemarau panjang, terutama di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mencanangkan hari air sedunia, dan diperingati setiap tanggal 22 Maret sejak tahun 1993. Semangat pencanangan ini mendukung upaya untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan pada poin ke enam, yaitu terpenuhinya kebutuhan air dan sanitasi secara merata di tahun 2030.  

Konservasi Area Resapan

Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan air bersih meningkat pesat seiring pertumbuhan populasi, adanya urbanisasi serta meningkatnya penggunaan air dari sektor industri, pertanian, dan energi. Di sisi lain, fenomena perubahan iklim yang ditandai meningkatnya frekuensi cuaca ekstrim, kemarau berkepanjangan, kebakaran hutan dan lahan telah memperberat upaya pemenuhan air bersih.

Terjadinya banjir, rob, dan intrusi air laut, seringkali juga mencemari sumber air bersih. Melihat begitu besarnya tantangan ini, setidaknya diperlukan upaya percepatan empat kali lebih besar untuk penanganan krisis air bersih, sehingga target tahun 2030 dapat tercapai.
Secara umum, upaya penanganan krisis air bersih dilakukan melalui efisiensi penggunaannya dan upaya konservasi daerah-daerah resapan air. Dalam efisiensi penggunaan air bersih, dituntut adanya kesadaran akan pentingnya penghematan penggunaan air dan cara-cara menghemat air, mulai dari rumah tangga, mengoptimalkan penggunaan air di industri, dan mengefisienkan penggunaan air di sektor pertanian.

Upaya penghematan ini disertai penerapan teknologi pemanenan air hujan dan pengolahan air yang tepat serta ramah lingkungan. Ini merupakan hal yang baru, namun dibandingkan Indonesia, beberapa negara di Asia seperti India, Bangladesh, Sri Lanka, dan di Australia lebih intensif melaksanakannya.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pemanenan air hujan dapat menyuplai kebutuhan air untuk sanitasi hingga 62%. Praktik ini sangat bermanfaat, selain untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, juga pada perkantoran, penginapan, sekolah, dan sarana umum lainnya.

Perlindungan terhadap daerah resapan air, atau dikenal dengan daerah tangkapan air, penting dilakukan. Mengapa? Karena area ini berfungsi dalam mengumpulkan air hujan, menyimpannya di dalam tanah, dan melepaskannya sebagai air permukaan seperti mata air, sungai, danau, atau waduk.

Jika daerah tangkapan air tercemar atau rusak, maka kuantitas dan kualitas air yang dihasilkan akan menurun. Kerusakan daerah tangkapan air ditandai dengan besarnya fluktuasi debit air sungai saat musim hujan dan musim kemarau, sehingga kerap mengakibatkan banjir dan kekeringan.

Di Indonesia, setidaknya terdapat lanskap hutan, lahan gambut, dan kawasan karst yang masing-masing memainkan peran penting sebagai daerah tangkapan air dan menjadi lumbung pasokan air bagi masyarakat. Penggunaan lahan pada daerah-daerah tangkapan air semacam ini, harus diatur melalui perencanaan tata ruang, sehingga dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menyerap dan menyimpan air hujan.

Perubahan penggunaan lahan akibat pertumbuhan penduduk di suatu daerah tangkapan air telah menyebabkan menurunnya luas tutupan hutan dan terdegradasinya lahan gambut dan kawasan karst. Konversi tutupan lahan yang tidak memerhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, telah menurunkan fungsinya sebagai daerah resapan air.

Pengelolaan vegetasi hutan di daerah tangkapan air seharusnya tetap selaras dengan pemanfaatan lahan lainnya, agar fungsi hidrologisnya dapat terjaga. Air yang sudah tidak dapat terserap melalui permukaan tanah akan berubah menjadi limpasan.

Jika volume dan kecepatan limpasan tersebut tidak dikendalikan, akan mengakibatkan erosi, sedimentasi, dan pencemaran sumber-sumber air bersih, serta berujung pada terjadinya bencana hidrologis seperti banjir, kekeringan, dan longsor.

Edukasi dan Sosialisasi

Perencanaan tata ruang yang baik juga harus memerhatikan pengendalian penggunaan air bawah tanah. Pengambilan yang berlebihan dapat berakibat pada penurunan permukaan air bawah tanah, subsidensi, intrusi air laut, kerusakan ekosistem terutama pada daerah rawa dan sungai, serta kerusakan infrastruktur seperti bangunan, jalan, dan bendungan.

Terjadinya subsidensi atau penurunan permukaan tanah, seperti yang dialami pesisir kota Jakarta dan Semarang, antara lain diakibatkan volume pengambilan air bawah tanah yang tidak seimbang dengan penyerapan air yang mengisi kembali simpanan-simpanan air bawah tanah melalui proses alamiah, seperti infiltrasi air hujan dan aliran sungai.

Ketika air bawah tanah berkurang, maka tekanan air di bawah permukaan tanah juga menurun, sehingga permukaan tanah akan turun.

Pengendalian penggunaan air bawah tanah dapat dilakukan melalui pengembangan zona tangkapan air dan zona konservasi sumber daya air. Dalam zonasi ini, wilayah-wilayah tertentu akan diidentifikasi sebagai daerah konservasi atau daerah yang dapat diperuntukkan sebagai sumber air bawah tanah secara terbatas.

Daerah konservasi ini harus dijaga peruntukannya secara ketat, disertai upaya meningkatkan kemampuan tanah secara alami dalam menyerap air, seperti memperbanyak pembuatan sumur resapan dan lubang resapan biopori.

Kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan stakeholder terkait sangat diperlukan. Hal itu  untuk memastikan, bahwa konservasi sumber daya air berjalan baik sesuai perencanaan guna menjamin ketersediaan air bersih berkelanjutan.

Kampanye edukasi, sosialisasi, dan pengawasan secara ketat pun harus terus digalakkan.

Pengaturan pemanfaatan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, serta pengawasan terhadap aktivitas manusia di daerah tangkapan air, penting untuk dilakukan, terutama terhadap kegiatan yang berpotensi merusak daerah tangkapan air, seperti illegal logging, pertambangan liar, dan pembuangan limbah.

*)Peneliti Ahli Utama bidang Pengaruh Hutan dan Manajemen Lingkungan, pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Redaksi Green Indonesia