Adanya peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, telah memperlihatkan perbaikan tata kelola hutan dan kelestarian sumber daya.
KESETARAAN gender merupakan salah satu tujuan dari PBB dalam programnya Sustainable Development Goals (SDGs) (Komnasham 2018). Tercapainya kesetaraan gender dalam pengelolaan hutan rakyat dapat mendukung terwujudnya SDGs.
Agarwal (2009) merumuskan bahwa pengelolaan hutan rakyat yang melibatkan kesetaraan gender akan memberikan manfaat yang sangat besar dalam kebijakan pengelolaannya.
Gender membahas mengenai kaitannya dalam kerjasama serta pembagian peran antara kedua gender untuk mencapai suatu tujuan (Puspitawati dan Krisnatuti 2007). Hal ini juga berlaku dalam pengelolaan hutan rakyat dimana gender memengaruhi peran individu mengelola hutan, akses mengelola hutan, dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Menurut Ali Maksum (2016) gender sebagai perbedaan berdasarkan aspek sosiologis dan kultural. Sementara Partini (2013) berpandangan bahwa budaya masyarakat memaknai gender sebatas pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Pandangan tersebut jelas berangkat dari budaya patriarki dimana peran laki-laki dalam ranah publik dan perempuan di ranah domestik dipisahkan.
Pandangan patriarkis ini sudah berdampak pada pembagian tugas mengelola hutan rakyat berdasarkan gender. Agar konstruksi sosial ini berubah, perlu ada kebijakan yang sifatnya “memaksa” demi terjadi kesetaraan gender yang berangkat dari persepsi. Saat ini data mengenai peran dan partisipasi perempuan dalam mengelola hutan sayangnya masih minim sehingga bentuk dari peran besar perempuan dalam mengelola hutan secara spesifik belum tergambar dengan jelas.
Beberapa penelitian tentang kesetaraan gender dalam pengelolaan hutan sudah dilakukan diberbagai daerah di Indonesia yang menunjukkan bahwa sektor kehutanan cenderung melekat pada dunia laki-laki.
Peran Penting
Memang, perempuan kerap tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengelola hutan. Alasan yang berkembang karena pembatasan sosial, pembatasan logistik, aturan-aturan dan bias laki-laki dalam tindakan dalam mendorong inisiatif mengelola hutan rakyat. Pandangan ini juga didukung oleh penelitian Erlangga M.Y (2021) pada hutan rakyat Desa Curug Bitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Penelitian itu juga menunjukkan bahwa pengambilan keputusan dalam kegiatan produktif dan pasca produksi pengelolaan hutan rakyat, dan pengelolaan keuangan hutan rakyat didominasi oleh laki-laki. Sedangkan perempuan mempunyai peran yang lebih dominan dalam pengambilan keputusan dalam masalah domestik keluarga petani pengelola hutan rakyat.
Berbagai studi lain menyarankan bahwa dengan adanya partisipasi kaum perempuan dalam pengelolaan memungkinkan terbentuknya lembaga yang tidak terlalu eksklusif, tata pengelolaan hutan rakyat yang lebih baik, tingkat pendidikan keluarga yang lebih tinggi dan rendahnya ketidaksetaraan ekonomi antar gender.
Padahal, penelitian Agarwal (2009), Coleman dan Mwangi (2012) menunjukkan, bahwa peran perempuan terkait hal ini tidak bisa dipandang enteng. Adanya peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, telah memperlihatkan perbaikan tata kelola hutan dan kelestarian sumber daya.***
E.M.Yusuf