Desa Perigi, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan tahun 2004 dikenal sebagai Desa Konflik. Ada konsesi perusahaan disitu tapi ditolak oleh masyarakat. Masyarakat didampingi WALHI, AMAN, Sawit Watch, dan beberapa lembaga lain untuk mendapatkan lahan tersebut. Akhirnya tahun 2008 lahan yang disengketakan di enclave dan pemerintah membantu masyarakat mencetak sawah.
Masyarakat Mencotoh Program
Itulah sekelumit cerita awal tentang Desa Perigi dari Edi Rusman, Ketua Kelompok Tani Sinar Baru, Desa Perigi. Desa Perigi salah satu desa yang terjadi kebakaran besar tahun 2019. Hampir setiap tahun ada kebakaran pada lahan bergambut di Desa Perigi. Hal ini tidak mengherankan karena budaya sonor sudah menjadi tradisi masyarakat sejak dulu kala dalam membuka lahan dengan membakar.
Informasi dari Edi Rusman, “Kegiatan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) bekerjasama dengan Hutan Kita Institut (HaKI) menjadi motivasi bagi masyarakat. Pola piker masyarakat berubah. Masyarakat merasa terbantu dan merasa memiliki. Pendekatan program oleh pendamping sangat baik, mendidik dan masyarakat merasa tidak disuruh-suru tapi diajak bekerjasama”.
Pola pendekatan HaKI di lapangan dianggap tepat oleh masyarakat. Dengan cara ini masyarakat berpatisipasi cukup tinggi dalam usaha rehabilitasi lahan dengan tanaman meranti, jelutung, pinang dan nenas. Kegiatan penanaman system agroforestry ini dianggap menguntungkan bagi masyarakat. Tanaman tidak hanya melulu tanaman hutan tapi ada tanaman yang bernilai ekonomi bagi masyarakat. Model ini dianggap cocok. Tidak heran jika pada tahun 2017 tanaman dalam program seluas tiga hektar dan masyarakat secara swadaya mencontoh program dengan menanam seluas 7 hektar pada lahan masyarakat.
Metode ini bisa menghindari kebakaran
Penanaman agroforestry diselang seling antara tanaman bernilai lingkungan dengan tanaman sela yang bernilai ekonomi. Bahkan tanaman hutan yang dipilih juga yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti jelutung. Lahan di sekitar program sudah terbakar hampir semuanya tahun 2019, tetapi lahan program ini relatif aman, terbakar satu hektar dari tiga hektar. Padahal di sekeliling areal sudah terbakar.
Hal ini tidak lepas dari adanya enam sekat kanal yang dibuat. Dengan keberadaan sekat kanal ini, air tersedia sepanjang tahun meskipun musim kemarau. Sempat kering sebentar tetapi cepat berisi lagi. Setelah adanya sekat kanal ini, ikan banyak yang muncul. Beberapa jenis ikan yang ada antara lain ikan gabus, betok, selinca dan berbagai jenis ikan lainnya. Banyak masyarakat yang memancing pada areal kanal ini.
Masyarakat Kabupaten OKI yang terkenal dengan budaya sonor sebenarnya bisa berubah. Hanya saja cara sonor sangat murah dan mudah sehingga masi dilakukan. Dengan berbekal uang sepuluh ribu, bisa membuka lahan empat hektar. Ya, tinggal beli korek api dan dibakar. Dapat empat hektar.
“Keberadaan program ICCTF membawa cara baru bagi masyarakat dalam berkebun. Sistem agroforestry yang selang seling tanaman hutan dengan tanaman pertanian bisa menjadi solusi agar masyarakat tidak melakukan kegiatan sonor. Apabila semua lahan dkitanam seperti pola ICCTF ini, maka tidak akan ada lagi kebakaran lahan”, pungkas Edi Rusman.
***MRi***
No comment