Petani kelapa sawit nasional bak di persimpangan jalan. Bingung mau berbuat apa, termasuk untuk me-replanting kebunnya. Tidak diremajakan hasil tidak optimal. Diremajakan tidak punya uang selama menunggu panen. Jadi ?

Fakta berbicara, bahwa kebun sawit milik petani swadaya maupun plasma memiliki kontribusi yang tidak kecil dalam percaturan agribisnis kelapa sawit nasional. Sebuah publikasi menyatakan, dari total luas kebun sawit Indonesia yang saat ini mencapai 11, 9 juta hektar (ha), kebun sawit milik petani mencapai area seluas 4,2 juta hektar.

Namun, menurut Prof. Dr. Dodik R Nurochmat, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), data perkebunan  kelapa sawit swadaya (rakyat) itu ‘masih gelap’. “Jika dicari data persisnya, sulit untuk ditemukan,” ungkapnya dalam sebuah diskusi di Hotel Grand Savero Bogor, tadi siang (28/10/2019).

Ironisnya lagi,  kebun sawit petani tersebut sangat rendah produktivitasnya. Pasalnya, nyaris kebun-kebun itu berisi tanaman tua yang sudah tidak lagi produktif.  Hanya sebagian kecil kebun sawit milik petani plasma maupun swadaya yang selama ini diremajakan karena terbentur pada legalitas lahan dan terbatasnya dana. Lalu ada dana replanting yang disalurkan pemerintah akhir-akhir ini, namun tampaknya belum mampu menjadi solusi jitu.

Banyak pihak berpendapat, dana sebesar yang telah ditentukan per hektarnya, tidak cukup. Selain itu, berbagai permasalahan lain di lapangan pun cukup pelik. “Banyak kegiatan replanting yang tidak sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur). Dan ini memicu  hal negatif, diantaranya termasuk kasus kebakaran lahan dalam kegiatan land clearing,” tutur Dodik.

Tak Antusias

Sejumlah warga di Pelalawan – Riau, menyatakan enggan memanfaatkan dana replanting yang telah disalurkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Hal itu terungkap dari penelitian Dodik R. Nurochmat dkk, seperti yang dipaparkan dalam diskusi bertajuk ; “Strategi Kebijakan Zonasi Replanting untuk Meningkatkan Nilai Ekonomi Limbah Batang Sawit dan Mengurangi Resiko Kebakaran” di Grand Savero Bogor itu.

Ikut hadir dalam diskusi itu para akademisi, peneliti, LSM, awak media, serta pelaku usaha perkebunan kelapa sawit. “Niatan baik pemerintah memberikan dana replanting triliunan rupiah memerlukan dukungan data kebun sawit yang memadai,” lanjut Dodik. Hal tersebut diamini oleh salah seorang pengusaha perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, Teguh Patriawan.

Lebih jauh Teguh menilai, bahwa banyak hal yang terlebih dahulu penting dilakukan, termasuk oleh pemerintah Indonesia untuk membantu petani kepala sawit di berbagai daerah. Diantaranya Dia menyarankan dukungan promosi serta pembelaan pasar, dimana kelapa sawit –oleh dunia internasional– dipojokkan dengan tuduhan merusak ekosistem.

“Kondisi yang melemahkan tersebut pada akhirnya dapat menjadikan petani kelapa sawit nasional bak di persimpangan jalan. Bingung berbuat apa, termasuk untuk me-replanting kebun,” ucap Teguh. Ditegaskannya, bahwa dana 25 juta rupiah per hektar itu pasti tidak cukup.

 Alasan Petani

Dari 302 petani yang dijadikan sampel penelitian, diketahui bahwa terdapat beberapa alasan kurang diterimanya dana BPDPKS untuk mereplanting kebun mereka. Diantaranya ialah banyak diantara kebun swadaya tidak memiliki sertifikat. Data luas dan sebarannya pun masih kurang jelas.

Tidak hanya itu. Umumnya masyarakat menganggap produksi kebunnya masih bagus, sehingga tidak mau melakukan replanting. “Sepanjang egreg (alat panen –red) masih sampai menjangkau tandan, itu mereka anggap masih bagus,” tutur Dodik.

Disamping itu ada masyarakat yang mencemaskan, jika kebunnya direplanting, mereka mau makan apa. Pasalnya, proses peremajaan butuh waktu selama empat tahun untuk bisa menghasilkan kembali. Sementara itu, meski ada yang bersedia melakukan replanting, hal itu dikarenakan ingin mendapatkan bibit yang bagus dalam program BPDPKS tersebut.

Padahal, menurut Dodik, keuntungan program replanting itu antara lain ialah dapat mengurangi resiko kebun terserang hama dan penyakit. Misalnya  dari pelapukan batang sawit yang berpotensi berkembangnya jamur, kumbang dan sebagainya. Untuk hal ini, salah-satu solusinya ialah dengan menjadikan biomas kebun sawit memiliki nilai tambah, misalnya melalui penerapan teknologi pengolahan.

Seperti diketahui bahwa limbah replanting sawit bisa diolah menjadi bahan baku kayu konstruksi, pallet, bahkan bahan pangan.

MRi/Riz