Implementasi program Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) sampai saat ini masih sedang berproses. Banyak pihak mulai meragukan, benarkah kegiatan REDD+ atau kegiatan penurunan emisi lainnya akan menguntungkan Indonesia ? Atau malah sebaliknya, akan merugikan lingkungan dan masyarakat. Bagaimana peran wilayah yurisdiksi dalam membantu percepatan implementasi program REDD+ ? Adakah contoh implementasi REDD+ berbasis Yurisdiksi yang meyakinkan ?

Terkait pertanyaan menohok tersebut, Dr. I Wayan Susi Dharmawan selaku Koordinator Project Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Indonesia punya jawaban yang menarik. Menurut I Wayan, “saat ini di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sedang dilakukan program FCPF dengan target penurunan emisi sebesar 22 juta ton CO2e selama 5 tahun dari tahun 2020 – 2024. Untuk menetapkan target penurunan emisi 22 juta ton CO2e sudah ada accounting area. Beberapa target area penurunan emisi yang sudah diidentfikasi antara lain wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), High Conservation Area (HCV), Hutan Desa (HD), Perhutanan Sosial (PS) dan hutan – hutan pada program Kampung Iklim”.

Selama ini dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) belum explisit menetapkan wilayah target penurunan emisi. Dalam NDC baru menetapkan aktivitas sepetri Reduced Impact Logging (RIL), PS, restorasi ekosistem, dan yang lainnya. Uniknya dalam program FCPF ini sejak awal sudah terbangun negosiasi yang kuat dari Dirjen Pengendalian perubahan Iklim (PPI), yang meminta kegiatan FCPF harus mendukung NDC. Indonesia saat ini menjadi satu-satunya negara yang kegiatan FCPF dikaitkan dengan NDC.

I Wayan melanjutkan bahwa “negara boleh menerima dana dari negara manapun tetapi tetap mengutamakan kebutuhan bangsa kita. Dalam program FCPF ini Indonesia yang menentukan lokasi. Sehingga kita bebas menetapkan KPH mana saja atau Kampung Ikim mana saja yang diikutkan. Ada sekitar 150 kampung iklim yang akan dilibatkan”.

Hambatan FCPF saat ini terkait dengan komitmen pemda dalam melaksanakan pembangunan ramah lingungan yang rendah emisi. Kaltim termasuk provinsi yang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari ekstraksi SDA yang harus menjamin pertumbuhan ekonomi. Pemda Kaltim memiliki komitmen yang kuat untuk bisa melakukan program penurunan emisi. Jika Kaltim bisa memenuhi target penurunan emisi ini, ke depan akan banyak donor yang berkomitmen untuk investasi di Indonesia. Ada Amerika, Norwegia, Inggrs, Jerman, Jepang, Prancis, dan lain-lain.

“Dari Program FCPF ini diperoleh pembelajaran yang sangat penting. Pembelajaran yang dimaksud berupa, jika program FCPF di Kaltim berhasil, maka Inilah sejarah impelementasi REDD+ berbasis yurisdiksi pertama di Indonesia dengan skema Result Base Payment. Program akan dilakukan tahun 2020 – 2024. Apabila kita sukses memenuhi target penurunan emisi maka pembayaran pertama akan diperoleh Kaltim tahun 2023 dan pembayaran tahap kedua tahun 2025”, pungkas I Wayan.

***MRi***