Desa pertama Kabupaten Cianjur dan berjiran dengan Kabupaten Bogor itu memang kaya potensi pertanian, namun kawasan ini rawan ancaman iklim. Musim panas kekurangan air. Musim hujan; banjir serta longsor, tanah bergerak dan bahkan amblas.

BEBERAPA hari terakhir ini matahari  di Kawasan Puncak Dua bersinar terang. Suhu udara di luar rumah agak sedikit hangat, apalagi bagi petani yang sedang beraktifitas di kebun.

“Cuma kuat setengah hari, apalagi sedang puasa,” ucap Den Supendi, petani di Kampung Arca Sukawangi. Namun, meski cuaca panas, itu hanya di luaran. Di dalam rumah, tidur siang pun berselimut.

Tampaknya musim segera berganti. Sebelumnya, selama kurang lebih tiga bulan, hujan dan angin sejadi-jadinya ‘mendera’ kawasan ini, dari subuh sampai subuh. Cabe rawit –yang menjadi harapan karena harganya lagi bagus– banyak yang berguguran. Brokoli dan bawang daun pun menurun kualitasnya. Bahkan sebagian membusuk. Seperti diakui beberapa petani di Kampung Arca (kampung terujung di timur Bogor), itulah kenyataan yang selalu (mau tak mau) dihadapi akibat tidak jelasnya iklim.

Melongok ke kampung sebelah, yang sekaligus juga merupakan kabupaten tetangga (Cianjur), kondisinya lebih memilukan. Jika musim hujan tiba, jalur Puncak Dua – Bopunjur bagaikan trek 4×4 (offroad). Entah kenapa, dan apa mungkin, Pemkab Cianjur tampaknya kurang peduli dengan wilayahnya (desa) yang berada di gerbang (pintu masuk) jalur Puncak Dua tersebut.  Musim hujan kebanjiran – musim panas kebun-kebun kekeringan.

Desa pertama Kabupaten Cianjur di pintu masuk jalur Puncak Dua itu bernama ‘Batulawang’. Desa ini cukup luas, dengan nuansa pertanian hortikultura di sepanjang jalan (sampai ke Loji – Hanjawar dan Kota Cipanas). Desa inipun sebenarnya cukup terkenal, apalagi setelah ditemukannya situs kerajaan tempo dulu; ‘Kuta Tanggeuhan Kemuning Wangi’.

Luasnya hamparan sayur di kiri-kanan jalan, pada lereng-lereng tebing pegunungan cukup menyegarkan mata. Indah, kaya prospek, tapi sekaligus menjadi ancaman disaat hujan. Maka tak heran, jika –seperti disebutkan tadi, jalan raya menjadi kubangan lumpur. Begitu melintasi Kali Cibeet, yang menjadi batas kabupaten (Bogor – Cianjur), maka kondisi jalan (Jalur Puncak Dua) begitu kontras. Bagai negeri ‘tak bertuan’. Rusak parah; berlumpur, bebatuan dan disana-sini berlobang.

Tanah Bergerak, Warga Mengungsi

Saat musim hujan beberapa waktu lalu, kepiluan pun mendera Batulawang. Seperti diberitakan sejumlah mediamassa, di sejumlah lokasi tanah bergerak. Beberapa rumah rusak parah. Bahkan ancaman amblas pun menghantui warga.

Tidak cuma itu, seperti diceritakan Den Supendi, warga Kampung Arca, bahwa Sungai Cibeet yang berhulu di Curug Cibeet, Sukamakmur – Bogor, pernah meluap. Air sungai meluncur deras. Deru air serta suara benturan batu-batu besar yang disapu air bah tedengar mengerikan. “Gemuruhnya terdengar sampai sini,” ungkap Supendi yang rumahnya berjarak sekitar seratusan meter dengan Sungai Cibeet.

Curug sekaligus merupakan hulu Sungai Cibeet

Luapan sungai tersebut menyapu bantaran sepanjang daerah aliran (DAS) yakni di Desa Batulawang. Sebuah jembatan dihantam, transportasi antar kampung pun terputus. Di sepanjang jalur sungai ini pula, beberapa waktu lalu tanah bergerak. Beberapa bagian diantaranya sudah amblas hingga puluhan meter.

Dilansir dari sejumlah media, diinformasikan bahwa ratusan warga, oleh Pemkab Cianjur, kini tengah diupayakan untuk relokasi. Pihak BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Cianjur pun telah melakukan survey dan pendataan warga. Namun belum disebut kemana para warga tersebut direlokasikan. Sementara itu, sebagai antisipasi, terutama saat musim hujan, warga pun mengungsi ke beberapa tempat.

***Riz***