Usai berbudidaya selama beberapa bulan, pada  akhirnya petani Puncak Dua – Bogor pasrah dengan percaturan pasar. Terkadang keringat pun tak terbayar saat harga ‘terjun bebas’.

Masih seperti yang dulu, petani begitu-begitu saja. Tidak miskin, tapi hanya segelintir yang bisa kaya. Suara mereka lemah — dalam berbagai sendi kehidupan, apalagi politik. Namun dibalik kepasrahan, umumnya petani itu cukup bahagia.

Itulah potret bangsa agraris tradisional, seperti yang diamati GI selama ini di kawasan Puncak Dua, Bogor Timur. Setiap hari jalan (alternatif Bopunjur) yang melintas di desa itu tak lepas dari pemandangan hilir-mudiknya petani. Pagi menuju kebun – sore pulang ke rumah. Jaket lusuh dan sepatu boot, alat semprot serta golok di pinggang. Itu rutinitas. Hidup tanpa beban, berjalan apa adanya.

Pemandangan lainnya ialah hilir-mudiknya para ‘centeng’ (pengepul sayur) dan mobil pick up para bandar menuju pasar induk atau pasar tradisional lainnya di Jakarta, Tanggerang serta Bogor. Hidup mereka agak kontras dengan para petani, omset tinggi dan persaingan terkadang membebani. Kepada mereka itulah para petani mengantungkan laku-tidaknya hasil panen, bahkan juga nilai (harga) yang akan diterima usai setiap hari selama beberapa bulan berbudidaya.

Wortel. Saat ini hasil panen di Puncak Dua diharrgai cuma Rp 1300 per kilogram

Seperti umumnya petani di Indonesia lainnya, mereka seolah dipaksa puas dengan margin terkecil dalam rantai tata niaga. Meski produk yang dipasarkan adalah hasil ‘mematahkan punggung’ di kebun (tanah garapan), melewati iklim yang makin tak menentu. Kehujanan dan tamparan terik matahari, atau hama dan penyakit yang kerab mendera.

Buta Info Pasar

Masyarakat agraris di kawasan Puncak Dua, dari dulu hingga kini begitu-begitu saja. Pacul, golok dan tajak seadanya. Mekanisasi (alsintan) tidak bisa diterapkan di daerah ini, karena selain lahan sempit, nyaris budidaya dilakukan di lereng-lereng bukit. Alhasil, mau tak mau,  cocok tanam –mulai dari olah lahan hingga panen–  dilakukan dengan ‘mematahkan punggung’, mengayun pacul dan berkeringat.

Petani hortikultura (sayuran dan bunga potong) di kawasan Puncak Dua (khususnya Desa Sukawangi dan Batulawang), tidak tahu pasti, bahkan sudah tidak peduli pekembangan pasar. Penyuluh tidak ada, apalagi info harga harian, baik di pasar maupun di tingkat petani daerah lain. Alhasil, semua terserah apa kata bandar.

Di sini  ada kelembagaan petani (Gapoktan) yang sejatinya bisa diharapkan mendongkrak posisi tawar (bargaining position) para petani. Posisinya di Kampung Arca – Desa Sukawangi, sekantor bersama LMDH (Lembaga Masyarakat Disekitar Hutan). Ketuanya pun dirangkap sosok yang sama. “Hingga sekarang tak jelas peran Gapoktan itu,” celoteh seorang petani yang menolak disebut namanya.

Hortensia. Jenis bunga potong dari Sukawangi ini diakui yang terbaik di Indonesia

Itulah kenyataannya. Padahal, potensi agribisnis, ekowisata, serta harapan sebuah kawasan green economy yang maju di masa depan, bisa tercipta di kawasan jiran metropolitan ini. Lengkap dengan tradisi dan kebersahajaannya.

Desa-desa di jalur Puncak Dua memang agak terisolir dan masih serba tradisional. Namun alamnya cukup memanjakan penghuninya. Tanah subur, air berlimpah, karena mengalir dari pinggang-pinggang bukit, di sela lebatnya hutan. Kawasan ini juga dikenal sebagai surganya curug-curug (air terjun) yang indah, dengan berbagai ukuran.  Singkat kata, kawasan Puncak Dua tak kalah menarik untuk dikelola sebagai tujuan ekowisata.

Di sepanjang jalur Puncak Dua, lahan-lahan terbuka yang berbatasan dengan hutan, ditumbuhi aneka sayuran dataran tinggi. Warga  setempat –yang 95% petani, tak henti sepanjang tahun melakukan budidaya, mulai dari wortel, kubis tomat, brokoli dan berbagai jenis sayuran lain.  Tak sedikit pula warga yang mengusahakan bunga potong. Konon, yakni jenis bunga hortensia (panca warna) dari daerah ini adalah yang terbaik di Indonesia.

***Riz***