Perempuan mempunyai peranan penting dalam memitigasi perubahan iklim. Indonesia memiliki lebih dari 55,2 juta UKM dan mayoritas adalah industri rumahan dengan kontributor utamanya adalah perempuan

Diskusi “Pojok Iklim”, Rabu (17/07/ 19) agak berbeda dari biasanya. Baik peserta maupun pembicaranya nyaris perempuan. Temanya pun soal perempuan. Acara rutin yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kali ini membahas peran perempuan dan UKM dalam menyikapi isu perubahan iklim.

“Perempuan memiliki peranan yang sangat penting,” ungkap tokoh senior lingkungan hidup, Sarwono Kusumaatmaja, dalam sambutan pembuka hajatan tersebut.  Menurutnya, peran perempuan, terutama pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) perlu diperhitungkan alias lebih ditingkatkan lagi.

Mengapa tidak? Saat ini usaha mikro kecil dan menengah (UKM) banyak didominasi oleh kaum wanita baik sebagai pemilik maupun pekerja. Indonesia memiliki lebih dari 55,2 juta UKM dan mayoritas adalah industri rumahan dengan kontributor utamanya adalah perempuan,

Peran perempuan dalam aktivitas ekonomi tidak hanya berperan dalam memperkuat ketahanan ekonomi keluarga dan masyarakat namun juga dapat mengurangi efek fluktuatif ekonomi serta berkontribusi dalam upaya penurunan angka kemiskinan dan menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Laporan International Finance Corporation menyebutkan, bahwa 34 persen dari Usaha Menengah dimiliki oleh perempuan. Disamping itu, UKM yang dimiliki oleh perempuan menyumbang 9,1 persen dari PDB Indonesia.

Seperti dituturkan oleh Sarwono tadi, bahwa para perempuan, terutama pelaku bisnis harus peduli dan menjaga kelestarian lingkungan. Jika tidak, maka –tanpa sadar,  banyak musibah lingkungan yang bakal melanda, seperti banjir dan lain sebagainya. Polusi akibat kian pekatnya karbon di atmosfir pun terus mengancam kehidupan.

Peluang dan Pemberdayaan

Yani Septiani, Praktisi Isu Gender dan Koordinator Sektor Kehutanan K/W, menyatakan bahwa peluang perempuan untuk lebih berkiprah di bidang kehutanan cukup besar. “Bisnis kehutanan sebenarnya tidak hanya milik kaum pria, seperti yang terpikirkan oleh banyak orang selama ini, tapi wanita pun bisa,” jelasnya selaku salah-seorang nara sumber di Pojok Iklim tersebut.

Lebih jauh dipaparkannya, berdasarkan pengalaman di berbagai daerah, tak sedikit UKM yang dimotori oleh kaum hawa bermain dalam ‘bisnis hijau’ alias berbasis kehutanan. “Peluang bisnis di sector kehutanan yang dapat digarap oleh UKM Perempuan pun masih terbuka lebar,” jelasnya. Diantaranya seperti kerajinan anyaman, atau pewarna berbahan baku dari tumbuhan mangrove.

Namun, Yani pun menjelaskan, bahwa dibalik besarnya peluang ekonomi yang bisa dijalankan oleh kaum perempuan di berbagai wilayah, ditemukan beberapa kendala yang perlu mendapatkan solusi dari pemerintah, yakni sulitnya UKM perempuan mengakses permodalan. Disamping itu, upaya peningkatan kemampuan dibidang teknis serta inovasi produk pun sangat diperlukan.

Hal senada juga disampaikan oleh Tantrie Soetjipto, Komisaris Panin Dubai Syariah Bank yang juga menjadi pembicara di hajatan Pojok Iklim tersebut. “Minimnya pengetahuan dan kesadaran pelaku UKM terhadap ramah lingkungan, serta minimnya kemampuan manajemen dan akses kepermodalan, merupakan tantangan bagi kita dalam memacu tumbuh kembangnya UKM perempuan di berbagai daerah,” ujar Tantrie yang juga Co-Founder WomanPreneur Community itu.

Sementara pembicara lainnya, Anisa – dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjelaskan, bahwa pihaknya terus mengupayakan pemberdayaan perempuan di berbagai daerah, termasuk sejumlah UKM di pedesaan atau sekitar hutan.

Prospek Produk Ramah Lingkungan

Menurut Tantrie, produk yang ramah lingkungan adalah produk inovatif. Prospek pasarnya lebih luas dan mampu menjangkau semua lapisan. “Peluang ekspornya pun sangat menggiurkan,” jelasnya.

Namun sebagai pelaku usaha, Tantrie pun mengakui, bahwa masih banyak yang perlu dibenahi agar UKM perempuan, terutama dalam mengembagkan produk ramah lingkungan. Dalam hal kemasan saja misalnya. Dikatakannya, bahwa kemasan yang ramah lingkungan tidak mudah didapat karena produk kemasan ramah lingkungan local masih berkapasitas kecil dan menjadikan harga tidak terjangkau bagiUKM.

Untuk itu, langkah kedepan yang perlu lebigh digiatkan lagi adalah edukasi dan sosialisasi, baik langsung melalui pendampingan dan media sosial secara terencana dan berkesinambungan. “Kepada pelaku usaha UMKM dan masyarakat diberikan pemahaman agar mampu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan terhadap pentingnya kelestarian lingkungan. Dukungan dari pemerintah untuk memfasilitasi pelaku UKM dan produsen kemasan produk lokal sangat diharapkan. Tujuannya adalah untuk kemudahan mendapatkan kemasan yang ramah lingkungan,” papar Tantrie.

***Riz***