Usai melewati tanjakan terjal berbatu, bukit-bukit serta jurang dalam, maka pusat Kasepuhan Ciptagelar pun terlihat, bak menyapa dengan penuh keramahan; “…selamat datang di wilayah nan asri, potret negeri agraris yang sesungguhnya.”

Pada sebuah desa yang makmur….dimana masyarakatnya percaya bahwa sendi-sendi kehidupan mereka jalani adalah bagian dari siklus padi. Maka ritual Serentaun (pesta panen) pun menjadi sebuah hajatan penting yang digelar setiap tahun.

Inilah Bumi Ciptagelar, sebuah wilayah di puncak Gunung Halimun yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun – Salak (TNGHS), Sukabumi Jawa Barat. Di sini tak pernah ada kasus kekurangan pangan, stok padi melimpah dan hukum adat ‘mengharamkan’ jual beli padi.

Agaknya pantas, bila Ciptagelar disebut potret ideal negeri agraris. Budaya gotong royong dan penerapan teknologi budidaya leluhur tetap lestari sejak ratusan tahun di wilayah ini. Benih padi khas (tersimpan 120 varietas), olah tanah dengan bajak (kerbau), tanpa pestisida dan pupuk kimia, namun nyaris tidak pernah mengalami gagal panen. Pengairan pun tertata rapih, dengan sumber air dari hutan pegunungan yang terjaga.

“Hukum adat melarang keras merusak hutan. Tujuannya tak lain adalah agar sumberdaya alam, termasuk dalam mendukung kegiatan pertanian (padi -red) dapat tetap lestari,” tutur Abah Ugi, Pucuk Adat Kasepuhan Ciptagelar, saat diwawancarai GI beberapa hari usai gelaran Serentaun beberapa waktu lalu.

Ugi Sugriana Rakasiwi adalah pemimpin masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang berjumlah lebih dari 30.000 yang tersebar di 568 kampung di seluruh penjuru pegunungan Halimun. Abah Ugi memang masih muda, namun Ia menjadi pemimpin sejak menggantikan ayahnya Abah Encup Sucipta (Abah Anom) yang meninggal pada tahun 2007.

Green Adventure LjOC

Medio September lalu, jurnalis GI turut serta dalam rangkaian konvoi 28 jip kecil yang tergabung dalam Persaudaraan 4×4 – Little Jip Owner Community (LjOC). Sebagai komunitas yang peduli lingkungan, kegiatan tersebut diberi tajuk “Green Adventure LjOC-Ciptagelar 2018”. Sekitar seribu bibit pohon aneka jenis –untuk penghijauan– berada di dalam kesangaran kendaraan berkaki (roda) penjelajah tersebut.

“Tujuan kita selain mengenalkan alam serta menjalin keakraban kepada sesama keluarga besar LjOC, juga untuk melakukan penanaman pohon demi kelestarian Bumi Ciptagelar,” tutur Abeng, Leader  Green Adventure LjOC-Ciptagelar 2018. Turut serta dalam event selama dua hari itu Ketua dan Wakil Ketua LjOC, Dona Ramdani dan Budi Asmono.

Memang, untuk menuju Ciptagelar diperlukan stamina ekstra. Lokasinya yang berada di daerah perbukitan  TNGHS membuat perjalanan terasa berat. Terlebih jalan yang masih alami ditambah turunan dan tanjakan yang curam dan licin membuat siapa pun harus ekstra waspada. Untuk menuju tempat ini diperlukan waktu sekira 7-8 jam perjalanan dari Kota Sukabumi.
Memasuki daerah taman nasional, jalan mulai menyempit dan nampak sama sekali belum tersentuh tangan pemerintah. Jalan di tempat ini masih berupa bebatuan dengan jembatan yang terbuat dari kayu seadanya. Soal udara, sepanjang perjalanan akan terasa sejuk karena melewati hutan dengan pohon yang tinggi di sisi kanan dan kiri.

Usai melewati tanjakan terjal berbatu, bukit-bukit serta jurang dalam, maka pusat Kasepuhan Ciptagelar pun terlihat, bak menyapa dengan penuh keramahan; “…selamat datang di wilayah yang asri, potret negeri agraris yang sesungguhnya.”

***Riz***