“Berbagai kendala masih dialami oleh KPH dalam berkiprah di lapangan”

Pendirian KPH, baik KPHL dan KPHP memang memberikan suatu harapan baru dalam pengelolaan kehutanan di Indonesia. Namun belum adanya batas-batas kawasan hutan yang diakui oleh semua stakeholders sering menjadi kendala utama dalam pengelolaan hutan oleh KPH, beberapa SK Penunjukan Kawasan Hutan belum dilakukan tata batas. Beberapa yang sudah dilakukan tata batas ternyata masih belum dilakukan penetapan kawasan.

Bahkan yang sudah dilakukan penetapan kawasan hutan pun masih banyak yang tidak diakui oleh masyarakat mengakibatkan KPH kesulitan dalam melakukan kerjasama dengan masyarakat di sekitar hutan. Padahal KPH dituntut menjadi mandiri serta dorongan sebagai penghasil PAD. “Tentu, hal ini menjadi tantangan tersendiri yang belum dapat diselesaikan KPH di lapangan, Berbagai payung hukum diperlukan, terutama tentang kerjasama dengan pemerintah daerah,” ungkap Leonardo AB. Sitorus

Leonardo AB Sitorus, S.Hut “Kepala UPT KPH Wilayah IV Balige,Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara.

selaku Kepala UPT KPH Wilayah IV Balige , Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara. Lebih jauh, Leonardo mengatakan bahwa disinilah diperlukannya kreativitas yang dapat dilakukan oleh beberapa KPH di daerah, akan tetapi kondisi masing-masing daerah yang berbeda-beda dan termasuk juga dukungan dari stakeholders lain yang beragam mengakibatkan KPH belum bisa bekerja optimal. “Seharusnya pemerintah pusat (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dapat mengambil alih peranan ini dengan menerbitan beberapa peraturan setingkat menteri yang dapat jadi acuan dilapangan,”ujarnya.

Masih Terkendala

Keberadaan Sumber Daya Manusia (SDM) KPH juga menjadi satu kendala utama, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Terutama terkait dengan jumlah personel teknis yang dapat mendukung operasional KPH, Pelatihan Kepala KPH, dan Sertifikasi.

Saat ini banyak kepala KPH yang ditetapkan tidak berdasarkan indikator kepemilikan sertifikasi atau sudah mendapatkan sertifikasi dari badan sertifikasi KPH. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh kurangnya kegiatan pelatihan dan sertifikasi bagi kepala KPH akhir-akhir ini. Padahal kegiatan tersebut sangat bermanfaat untuk pengelolaan KPH.

Kemudian Jumlah dari aparatur/ staf KPH juga sangat minim, terlihat dari beberapa KPH yang memiliki personel yang jauh dari cukup untuk pengelolaan suatu kawasan hutan. Terutama untuk tenaga fungsional penyuluh kehutanan dan polisi kehutanan, khusus personel polisi Kehutanan yang sudah puluhan tahun tidak ada pengangkatan baru, sehingga KPH menjadi kesulitan dalam menjaga keamanan kawasan.

Daerah Belum Peduli

“KPH juga memiliki kendala pendanaan di tingkat daerah, dimana sektor kehutanan masih merupakan program pilihan. Sehingga mengakibatkan penganggaran pada dinas-dinas kehutanan provinsi menjadi sulit diperjuangkan,” ungkap Leonardo.

Kondisi ini tentu mengakibatkan terkendalanya beberapa kegiatan di lapangan. Kegiatan UPT kementerian Kehutanan yang cenderung menjadikan KPH sebagai Lokus Kegiatan perlu diminimalisir, pengajuan beberapa kegiatan seperti kajian-kajian untuk menjadi dasar pengelolaan cenderung kurang mendapat dukungan dibandingkan dari rehabilitasi hutan yang harus mencapai target-target yang sangat luar biasa mengakibatkan fokus kegiatan beberapa UPT KLHK masih kurang mendukung dalam kegiatan pengelolaan KPH.

“Semangat pengelolaan hutan perlu kita benahi, dimana fungsi ekologis dari kawasan hutan perlu menjadi prioritas utama yang tidak dapat dilupakan dalam pengelolaan hutan, kebanggaan akan peningkatan fungsi ekonomi dan fungsi sosial seharusnya diimbangi dengan kebanggaan akan peningkatan fungsi ekologi kawasan hutan.

Sehingga KPH dapat memberikan catatan positif yang baik akan kelestarian kawasan hutan di Indonesia,” papar Leonardo.